Indonesia lagi heboh. Kehebohan berawal dari peristiwa yang terjadi di Sumatera Selatan. Hal tersebut disebabkan adanya "Sumbangan untuk Penanggulangan Covid-19 dan Kesehatan di Palembang-Sumsel". Sumbangan senilai 2 triliun rupiah ini bikin heboh karena belum juga "berwujud".
Kehebohan semakin menjadi setelah Dahlan Iskan menulis secara berseri tentang sumbangan ini di blog pribadinya, Disway. Dahlan Iskan menginvestigasi sumbangan yang sangat besar ini. Uang 2 triliun bila diwujudkan dalam lembaran ribuan pasti membutuhkan satu ruang khusus. Mungkin kamar kos saya sewaktu kuliah tidak cukup untuk menyimpan uang 2 triliun ini.
Dahlan Iskan terlihat sangat penasaran bila uang dua triliun ini benar-benar terealisasi. Mau diapakan uang 2 triliun ini. Saya berpikir, bisa saja uang ini dihabiskan dengan cepat. Uang 2 triliun dibagi rata dengan seluruh warga Sumatera Selatan. Toh seluruh warga menjadi "korban" pandemi Covid-19.
Dahlan Iskan dalam tulisannya yang berjudul "Pusing 2 T" sempat menyinggung bagaimana cara orang kaya memberikan sumbangan. Bill Gates, menyumbangkan kekayaannya melalui lembaga "non for profit". Dimana lembaga non for profit ini tidak sekedar menghabiskan uang sumbangan.
Lembaga non for profit bertugas memutar uang sumbangan. Hasil perputaran uang sumbangan inilah yang digunakan untuk menggulirkan program-program sosial. Otomatis uang sumbangan ini tidak serta merta habis begitu saja.
Dahlan Iskan juga menyebutkan contoh penyumbang dana lain. Ada orang kaya dari Hong Kong yang melihat orang pelarian dari Tiongkok. Orang dari Tiongkok ini mengalami kelaparan, tidak memiliki uang untuk bertahan hidup di Hong Kong. Keadaan waktu itu masih susah karena terdampak perang dunia kedua.
Orang kaya Hong Kong ini kemudian menyumbangkan kekayaannya. Uang sumbangan digulirkan dan diputar kembali. Bahkan sekarang uang sumbangan ini berkembang menjadi senilai USD 25 miliar.
Hebat ya. Orang kaya di luar sana kalau memberikan sumbangan tidak tanggung-tanggung jumlahnya. Tidak tanggung-tanggung pula caranya menyumbang. Uang sumbangan diputar dalam bisnis "not for profit". Harapannya agar uang sumbangan terus berkembang semakin banyak dan bertahan semakin lama.
Kapitalisme Religius
Cerita di atas mengingatkan pada gagasan Kapitalisme Religius. Gagasan ini pertama kali saya dengar pada tahun 2017. Saya mendengarnya langsung dari sang penggagas, Suwarsono Muhammad.
Gagasan ini mirip dengan sumbangan yang diputar, lantas labanya digunakan untuk kegiatan sosial. Kapitalisme Religius merupakan gagasan dimana laba/keuntungan diputar kembali untuk kegiatan religius/keagamaan. Ini yang dilakukan oleh generasi Islam sejak era sahabat Nabi.
Para pemeluk agama tidak menjauhi uang. Uang mereka dekati dengan cara berbisnis. Bisnisnya pun sesuai etika keagamaan. Salah satunya dengan menghindari pinjaman modal yang meminta pertambahan nilai saat mengembalikannya.
Saya melihat ada organisasi modern yang gerakannya mirip dengan Kapitalisme Religius dan "sumbangan yang diputar". Namanya Persyarikatan Muhammadiyah. Muhammadiyah juga menghimpun dana dari umat. Dana tersebut digunakan untuk pembangunan dan pengembangan berbagai lembaga yang disebut "Amal Usaha Muhammadiyah".
Amal Usaha Muhammadiyah (AUM) pada dasarnya digunakan sebagai ladang beramal sekaligus berusaha. Hasil usahanya itu diputar kembali untuk beramal. Maka tak heran kalau kini Muhammadiyah memiliki ratusan perguruan tinggi, ribuan sekolah, panti jompo, bahkan tempat pemakaman umum. Tak heran kalau Muhammadiyah semakin berkiprah untuk bangsa di saat pandemi ini melalui ratusan AUM kesehatannya.
Lantas, mau diapakan sumbangan 2 triliun itu kalau memang ada?
Borobudur, 3 Agustus 2021
Comments
Post a Comment