Suatu
hari terdapat dua anak manusia yang mendapatkan perlakuan yang berbeda dari
lingkungannya. Anak yang pertama selalu dipuji oleh sekitarnya karena
kepandaiannya menyelesaikan berbagai macam soal dan tugas sekolahnya. Sehingga ia
sering mendapatkan banyak piala, sertifikat penghargaan dan nilai akademik yang
bagus.
Sedangkan
anak yang kedua mendapatkan perlakuan yang berbeda dari anak yang pertama. Ia tidak
terlalu pandai, sehingga lingkungan menganggapnya biasa saja. Hanya ia memiliki
julukan si lihai karena ia memiliki
kemampuan motorik dan kecerdikan yang lebih diantara teman-temannya yang lain.
Suatu
ketika dua anak tersebut berjalan mengintari gunung. Di tengah perjalanan
mereka bertemu beruang yang sangat kelaparan. Mereka terjebak dan tak bisa
kemana-mana. Anak yang pertama berkata ”Beruang itu dapat menangkap kita dalam
waktu 11 detik” perhitungan yang luar biasa, pernghitungan s= v x t dalam
keadaan yang genting dan dihitung dengan waktu yang sangat singkat. Anak yang
kedua tidak mampu menghitung kecepatan lari beruang layaknya anak pertama. Ia hanya
berkata ”aku memang tak bisa menghitung kecepatan sepertimu, namun yang kutahu
yang harus aku lakukan adalah aku harus berlari lebih cepat darimu”. Dan akhirnya,
anak pertamalah yang dimangsa oleh beruang walaupun ia dapat menghitung waktu
beruang untuk menangkapnya.
Jadi,
dalam kejadian di atas, anak pertama yang memiliki kecerdasan konvensional (kecerdasan
yang dibuktikan dengan nilai akademik yang tinggi) tidak mampu mengalahkan
kecerdasan sukses yang dimiliki oleh anak yang kedua.
Contoh
yang lain adalah ketika kita mendapatkan nilai ujian yang baik. Ternyata nilai
ujian yang baik itu hanya berlaku ketika kita masih berada di bangku sekolah
dan saat mencari kerja. Pada saat kita masih sekolah kita akan mendapatkan
pujian dari guru, orang tua dan teman-teman sekolah yang lain. Begitu pula saat
kita melamar pekerjaan, penyelenggara lowongan kerja pun menyeleksi kita melalu
nilai yang kita peroleh. Namun ternyata nilai ujian itu tidak dapat kita
gunakan untuk meminjam uang di bank, kredit motor, dan nilai tersebut tidak
dapat kita gadaikan. Karena memang nilai ujian itu tidak memiliki nilai yang
cukup berharga dan tidak mampu menyelamatkan kita dari tantangan kehidupan. Jadi,
lagi-lagi kecerdasan konvensional yag ditunjukjkan dengan nilai hasil ujian
bukanlah segala-galanya.
Ada
satu kisah lagi, kisah seorang anak kelas 3 SD yang menyelamatkan tetangganya
yang tidak bisa berenang. Suatu hari di siang hari yang sangat panas terdapat
seorang ayah dan anaknya yang baru berumur 5 tahun. Anak yang berumur lima
tahun tersebut merasakan panasnya udara di siang hari, sehingga tiba-tiba ia
menceburkan diri ke dalam kolam yang yang sangat dalam. Ayahnya hanya mampu
berteriak minta tolong di pinggir kolam karena ia tidak bisa berenang. Tiba-tiba
ada seorang anak yang menceburkan diri ke kolam dan berenang menyelamatkan anak
tersebut. Ternyata yang berenang menyelamatkan anak berumur 5 tahun itu adalah
seorang siswa kelas 3 SD yang di sekolahnya hanya mendapatkan nilai pas-pasan. Sekali
lagi kecerdasan konvensional tidak selalu mampu/ menjadi tolok ukur utama
penyelesaian masalah.
Berdasarkan
kisah di atas, kecerdasan konvensional adalah kecerdasan tradisonal yang
kebanyakan orang menganggap tolok ukur utama keberhasilan adalah nilai akademis
yang di dapat di sekolah. Sedangkan menurut Sternberg dan grigorenko dalam buku
learning metamorphosis, kecerdasan sukses adalah sekumpulan kemampuan terpadu yang dibutuhkan seseorang untuk mencapai
kesuksesan hidup, terlepas bagaimana seseorang mengartikan kesuksesan itu dalam
konteks sosio-kultural.
Orang
yang memiliki kecerdsan sukses, mampu memahami dirinya sendiri, mengerti akan
kekurangan dan kelebihan diri sehingga mampu menggunakan kelebihan diri untuk
menghadapi suatu masalah dan menutupi kekurangan dirinya. Sehingga orang yang
memiliki kecerdasan sukses lebih mampu menghadapi permasalahan dan tantangan
hidup dibandingkan orang yang memiliki kecerdasan konvensional.
Secara
singkat, orang yang memiliki kecerdasan sukses memiliki tiga kemampuan, yaitu
kemampuan analisis, kreatif dan praktis. Kemampuan analisis adalah kemampuan
untuk memahami, mengevaluasi, membandingkan dan membedakan. Kemampuan kreatif
adalah kemampuan untuk membuat, menciptakan atau menemukan. Sedangkan kemampuan
praktis adalah kemampuan utnuk menerapkan, mempraktikkan dan menggunakan apa
yang telah ia pelajari.
Kesimpulannya
adalah bagi orang tua atau pendidik, janganlah menganggap anak yang mendapatkan
nilai akademik yang buruk adalah anak yang bodoh dan tidak mampu menyelesaikan
permasalahan hidup. Hendaknya setiap guru dan orang tua bersikap bijaksana
dengan menghargai ketrampilan yang dimiliki anak. Entah itu ketrampilan di
bidang olahraga, karya ilmiah, sastra, seni ataupun akademik.
“Murid-murid anda sudah ditakdirkan dan
dibekali keunikan masing-masing oleh Sang Pencipta. Anda tidak perlu
mati-matian membuat murid anda menjadi bintang kelas jika kemampuannya justru
menjadi bintang lapangan, atau bintang panggung. Beri mereka kesempatan untuk
memaksimalkan keunikan dan potensi yang dimilikinya. Mereka memiliki hak untuk
menjadi bintang dengan pilihannya sendiri”(learning metamorphosis).
Referensi: Iriyanto. 2012. Learning Metamotphosis, Pengantar Ilmu
Pendidikan. Jakarta: Esensi Erlangga Group.
Semarang, 5
September 2012
Rahma Huda Putranto
Comments
Post a Comment