“Tiga macam sifat
asli yang ada pada diri manusia untuk penyempurnakan tabiat hewaniyahnya, yaitu:
(1) Kecenderungan (2) Marah (3) Mementingkan diri sendiri.” (Hamka, 1984, hal 101)
Manusia
dianugerahi berbagai macam sifat oleh Tuhan. Salah satunya adalah marah. Marah identik
dengan berang dan gusar. Sehingga KBBI menjelaskan marah sebagai keadaan sangat tidak senang (krn
dihina, diperlakukan tidak sepantasnya, dsb).
Seseorang marah karena dihina, diperlakukan tidak
sepantasnya, dsb. Pada intinya kemarahan itu disebabkan oleh adanya masalah. Masalah
diartikan sebagai kesenjangan antara harapan dan kenyataan. Ketika kenyataan
yang dihadapi manusia tidak sejalan dengan apa yang diharapkan, manusia
memiliki kecenderungan untuk marah. Entah marah kepada diri sendiri atau orang
lain.
Berdasarkan pendapat Prof. Dr. Hamka marah
merupakan sifat yang manusiawi. Karena sifat marah dimiliki oleh semua manusia.
Buktinya, semua orang pasti pernah merasakan marah. Baik dimarahi atau
memarahi. Sehingga aristoteles berpendapat “Siapa pun bisa marah. Marah itu
mudah. Tetapi, marah pada orang yang tepat, dengan kadar yang sesuai, pada
waktu yang tepat, demi tujuan yang benar, dan dengan cara yang baik, bukanlah
hal mudah”.
Sebagian orang berpendapat bahwa ketika kamu marah,
maka obat yang paling tepat untuk menghilangkan rasa kesal karena marah adalah
dengan cara melampiaskan kemarahannya. Manusia melampiaskan kemarahan dengan
berbagai macam cara. Misalnya ada yang membanting apa yang ia pegang,
menghancurkan apa yang ada di hadapannya, dsb. Namun di zaman yang serba modern
ini, kemarahan seringkali dilampiaskan melalui status di berbagai media sosial.
Tak jarang status facebook banyak berisi cemoohan dan hujatan yang isinya kata-kata
yang kurang pantas untuk disampaikan kepada khalayak.
Daniel goleman dalam bukunya yang sangat populer:
Emotional Intelligence, mengutip hasil riset Diane Tice, seorang ahli psikologi
dari Case Western Research University, yang menemukan bahwa melampiaskan amarah
merupakan satu cara terburuk untuk meredakannya (dalam Kompasiana).
Dijelaskan lebih lanjut bahwa ledakan marah
biasanya memompa perangsangan otak emosional. Akibatnya, orang akan menjadi
lebih marah dan kehilangan rasionalitas. Melampiaskan marah justru
memperpanjang suasana marah. Sehingga dapat dikatakan kalau melampiaskan marah
adalah tindakan yang tidak tepat.
Lantas bagaimana caranya mengahadapi marah? Daniel
Goleman memberikan saran dengan cara menenangkan diri dan memaafkan. Karena memaafkan
bukan berarti menunda kemarahan, namun memperbolehkan diri merasakan amarah.
Merasakan marah tidak membuat sesorang menjadi lebih marah sehingga
rasionalitas tidak menghilang.
Namun, ada cara yang lebih konstruktif dan terarah.
Yaitu dengan cara yang diajarkan oleh Rasulullah SAW. Nabi SAW bersabda, “Jika salah seorang di
antara kalian marah ketika berdiri, maka hendaklah ia duduk. Apabila marahnya
tidak hilang juga, maka hendaklah ia berbaring.” (HR Ahmad). Kemudian
dijelaskan marah adalah api setan yang dapat mengakibatkan mendidihnya darah
dan terbakarnya urat syaraf. (Syekh Sayyid Nada dalam media.zoya.co.id)
sehingga disarankan untuk wudhu atau mandi.
Mario Teguh pernah mengingatkan, “Setan membesarkan
rasa marah di hati kita dan menambahi nikmat dalam pelampiasannya agar kita
mengkasarkan kata-kata dan mengkejikan tindakan, sehingga rusak hubungan kita
dengan keluarga dan sahabat.”
Kesimpulannya adalah marah merupakan sifat yang
pernah dirasakan oleh semua manusia. Menghadapi marah dengan cara
melampiaskannya adalah cara yang tidak tepat. Cara yang tepat adalah dengan
menenangkan diri. Proses penenangan dan memaafkan ini dilakukan dengan cara
mendudukkan (ketika marahnya saat berdiri) dan kalau belum reda dengan cara
berbaring. Bisa juga dengan berwudhu atau mandi.
Mari kelola marah dengan
cara yang tepat dan bijak. Karena imbalan yang diberikan bagi orang yang dapat
mengendalikan amarahnya begitu istimewa. “Barang siapa yang dapat menahan
amarahnya, sementara ia dapat meluapkannya, maka Allah akan memanggilnya di
hadapan segenap makhluk. Setelah itu, Allah menyuruhnya memilih bidadari surga
dan menikahkannya dengan siapa yang ia kehendaki.” (HR Ahmad).
Referensi: Hamka. 1984. Falsafah Hidup. Jakarta:
Pustaka Panjimas
Comments
Post a Comment