Pengalaman Memimpin Muhammadiyah (1)
Republika, Selasa, 09 April 2013, 09:26 WIB
REPUBLIKA.CO.ID,
Oleh: Ahmad Syafii Maarif
Dari sekian banyak
teori kepemimpinan yang dikembangkan oleh para ahli, tampaknya tipe
kepemimpinan yang selaras dengan kultur Muhammadiyah adalah yang
bercorak demokratik-konsultatif. Tipe kepemimpinan otokratif dan
serbakomando, tidak akan pernah efektif dalam organisasi modern dan
egalitarian ini.
Pengurus Muhammadiyah dari pusat sampai ke
tingkat ranting bersifat sukarela tanpa gaji. Tidak ada janji keuangan
atau jabatan duniawi yang ditawarkan, semuanya berdasarkan perintah iman
untuk berbuat yang terbaik bagi kepentingan masyarakat luas.
Situasinya
sungguh berbeda dengan lingkungan perusahaan melalui sistem karier,
promosi, dan imbalan penggajian yang telah ditentukan. Agak mendekati
apa yang berlaku di lingkungan perusahaan ini, yang berlaku dalam kultur
partai politik belakangan ini sudah mengarah kepada janji-janji duniawi
itu, sesuatu yang dapat mencederai sistem demokrasi. Politik yang
semestinya untuk mengabdi pada kepentingan umum telah berubah menjadi
ladang mencari rezeki.
Berbicara tentang pola hubungan antara
pemimpin dan pengikut, dalam perusahaan tentu corak komunikasi otak
(rasional) lebih diutamakan, dalam Muhammadiyah, komunikasi antara hati
(spiritual) akan lebih efektif. Sesuatu yang mengalir dari hati akan
mendarat di hati pula. Saya menggantikan posisi Prof Dr M Amien Rais
yang sangat populer saat itu sebagai Ketua PP Muhammadiyah dalam situasi
politik bangsa yang genting, suatu masa peralihan dari sistem
otoritarian menuju sistem demokrasi. Sebagai seorang yang belum banyak
dikenal publik, tiba-tiba harus memimpin organisasi sebesar
Muhammadiyah, terus terang saya merasa ragu dan gamang.
Amien
Rais telah berkibar sebagai tokoh publik nasional dan internasional,
khususnya sejak 1993, ketika melontarkan isu tentang perlunya suksesi
kepemimpinan nasional dalam Sidang Tanwir Muhammadiyah di Surabaya.
Lontaran ini telah memicu kemarahan luar biasa dari Presiden Soeharto
dan para pendukungnya, termasuk yang ada di kalangan Muhammadiyah,
selama beberapa tahun berikutnya sampai rezim Orde Baru itu jatuh pada
Mei 1998. Perasaan gamang yang sering dibayang-banyangi sosok
kharismatik Amien Rais berjalan sekitar setahun setelah saya memimpin
Muhammadiyah. Kemudian, secara berangsur yang dibantu oleh banyak pihak,
termasuk tokoh-tokoh lintas iman, saya mulai menemukan diri sendiri di
tengah-tengah pergolakan politik nasional dalam iklim euforia demokrasi
yang nyaris tanpa kendali itu.
Muhammdiyah sebagai representasi
dari salah satu sayap umat Islam terbesar di Indonesia, di samping NU,
harus dipimpin oleh seorang yang berasal dari kawasan udik yang
secepatnya mesti pandai merangkak ke panggung nasional. Jelas tidak
mudah bagi saya yang ketika itu sudah berusia 63 tahun.
Saya lahir di
sebuah nagari tersuruk Sumpur Kudus yang terletak di pedalaman Sumatra
Barat pada 31 Mei 1935. Ketika kecil tidak punya mimpi apa pun untuk
beranjak jauh dari kawasan udik itu. Memang kemudian saya pernah belajar
di madrasah Mu’allimin Muhammadiyah Lintau (Tanah Datar) dan Yogyakarta
antara tahun 1950 dan 1956, tetapi modal itu terasa belum cukup untuk
menduduki posisi puncak di Muhammadiyah.
Sekiranya Amien Rais
tidak berputar haluan memasuki dunia politik, mungkin saya tidak akan
pernah menjadi orang pertama di lingkungan Muhammadiyah. Maka, tidaklah
heran, mengapa saya terkejut karena tiba-tiba harus tampil ke posisi
seorang yang dituakan dalam Muhammadiyah. Sebelumnya hanyalah sebagai
anggota pimpinan pusat dan sebagai wakil ketua sejak 1994, saat Amien
Rais menggantikan posisi Ketua PP KH Azhar Basjir yang wafat pada tahun
itu. Azhar Basjir, seorang kiai dengan pemahaman agama yang dalam dan
lurus.
http://www.republika.co.id/berita/kolom/resonansi/13/04/09/mkyus1-pengalaman-memimpin-muhammadiyah-1
-------------
Pengalaman Memimpin Muhammadiyah (2)
Selasa, 16 April 2013, 20:00 WIB
REPUBLIKA.CO.ID,
Oleh Ahmad Syafii Maarif
Berbeda dengan gaya
kepemimpinan Azhar Basjir yang tenang dan lembut sesuai dengan sifat
seorang kiai, di bawah Amien Rais, Muham madiyah harus berhadapan dengan
negara di bawah sistem politik yang tabu untuk dikritik. Seluruh
kekuasaan negara terpusat pada satu tangan, seorang jenderal lagi,
sekalipun di depan forum Muktamar Muhammadiyah di Aceh pada Juli 1995
pernah mengakui sebagai "bibit Muhammadiyah yang ditanam di bumi
Indonesia".
Dalam situasi yang serbatertekan itu, pernyataan
presiden Soeharto ini mendapat tepuk tangan yang membahana dari peserta
muktamar. Bahkan, di beberapa daerah, pernyataan ini dicetak untuk
"melunakkan" sikap penguasa setempat terhadap Muhammadiyah.
Anda
bisa bayangkan betapa sulitnya posisi Muhammadiyah dalam konstelasi
politik nasional yang sangat kritikal itu. Saya mendampingi kepemimpinan
Amien Rais yang kadang- kadang memang tidak mudah diikuti dan dipahami,
sering menempuh jalan sendiri, tetapi saya banyak belajar bersama
anggota PP yang lain.
Sebagian kami kadang-kadang berada dalam
situasi harap-harap cemas. Pihak istana sebenarnya ketika itu sudah
ingin sekali agar Amien Rais tidak berada di puncak pimpinan
Muhammadiyah karena dirasa sudah sangat mengganggu kemapanan sistem
kekuasaan.
Harapan pihak istana ternyata sia- sia karena adalah
sebuah kemustahilan memisahkan Muhammadiyah dengan Amien Rais. Tokoh ini
di saat panas itu sangat diperhitungkan secara nasional oleh kawan dan
lawan.
Seorang wartawan bahkan pernah menyebutnya sebagai sosok
"yang telah putus urat takutnya" karena mengamati tingkat keberanian
Amien Rais yang spektakuler itu.
Bulan Juli 2000 dalam muktamar
ke-44 di Jakarta, saya terpilih sebagai ketua PP Muhammadiyah dengan
suara terbanyak. Sekitar tiga bulan menjelang muktamar, Amien Rais
"sedikit marah" karena saya tidak begitu rajin berkunjung ke
daerah-daerah. Dikhawatirkan, saya tidak akan terpilih sebagai ketua
dalam muktamar itu. Sebagai seorang yang mulai mengenal medan, saya cuek
saja. Terpilih, ya syukur, tidak ya syukur. Terserah saja kepada para
pemilih.
Tidak ada tim sukses yang dibentuk, semuanya biar
mengalir seperti air saja. Apalagi bagi saya, model-model tim sukses
terasa bernuansa politik, sedangkan Muhammadiyah adalah organisasi
kemasyarakatan yang menjaga jarak sama dengan semua kekuatan politik.
Kata orang, di bawah kepemimpinan saya, Muhammadiyah berjalan lebih
tenang dan aman sebab dipimpin oleh seorang yang bukan politisi.
Selain itu, Presiden Soeharto mungkin tidak begitu mengenal saya seperti mengenal Amien Rais.
Akan
tetapi, ada ujian agak berat atas kepemimpinan saya ketika muncul
berita awal 2001 bahwa Presiden Abdurrahman Wahid akan dijatuhkan oleh
MPR, pimpinan Amien Rais.
Pengikut Gur Dur, khususnya di Jawa
Timur, serta-merta mengamuk dan merusak masjid-masjid dan bangunan lain
milik Muhammadiyah. Bahkan, gedung SMA Muhammadiyah di Situbondo dibakar
habis.
Dalam situasi serba sulit ini, jelas tidak mudah bagi saya
memimpin Muhammadiyah, sekalipun punya hubungan baik dengan elite NU,
termasuk Ketua Umum nya KH Dr A Hasyim Muzadi.
Pada tingkat akar
rumput, hubungan baik ini tidak berhasil meredakan amuk massa yang
terkait dengan kekuasaan itu. Akal sehat sama sekali tidak ber fungsi.
Pimpinan
Wilayah Muhammadiyah (PWM) Jawa Timur dalam menyikapi situasi tidak
normal itu, saya nilai sangat arif, tidak terpancing untuk melayani
brutalitas massa, dengan membuat pernyataan tertanggal 5 Februari 2001
yang berbunyi: 1) Mendukung gerakan demokrasi dengan cara damai dan
konstitusional. 2) Menyesalkan pelbagai tindakan yang mengarah kepada
anarkisme dan perusakan. 3) Menyerahkan kepada aparat keamanan untuk
dapat segera mengantisipasi timbulnya kerusuhan dan perusakan serta
secepat mungkin mengusut dan menindak tegas tindakan yang melawan hukum.
4) Mengimbau kepada masyarakat Jawa Timur agar tetap tenang dan waspada
terhadap kemungkinan adu domba dari pihak-pihak tertentu .
http://www.republika.co.id/berita/kolom/resonansi/13/04/16/mlcmsl-pengalaman-memimpin-muhammadiyah-2
-----------
Pengalaman Memimpin Muhammadiyah (3)
Selasa, 23 April 2013, 07:00 WIB
REPUBLIKA.CO.ID,
Oleh: Ahmad Syafii Maarif
Sekalipun Muhammadiyah
disakiti dan harta miliknya dirusak, reaksi yang diberikan adalah dalam
bentuk pernyataan di atas, yaitu agar hukum ditegakkan. Dengan sengaja
menyamarkan nama pelaku teror itu, Muhammadiyah tidak rela lantaran
politik kekuasaan persaudaraan umat di tingkat bawah menjadi kacau dan
berantakan. Ongkosnya akan sangat tinggi bila teror dibalas dengan
teror. Orang yang beradab pasti mampu menahan diri sebagai pertanda
keadaban.
Anarkisme di Jawa Timur menjadi perhatian utama PP
Muhammadiyah. Kontak dengan PWM Jawa Timur terus dilakukan sambil
mendesak aparat agar tindakan kekerasan dihentikan secepatnya. Anak-anak
muda NU yang dekat dengan saya terus dihubungi agar menggunakan
pengaruh mereka untuk meredakan situasi yang panas, tetapi tidak membawa
hasil. Cukup banyak milik Muhammadiyah yang menjadi sasaran tindakan
brutal selama berbulan-bulan sampai Presiden Abdurrahman Wahid
benar-benar harus rela meninggalkan kursi kepresidenannya pada 23 Juli
2001, setelah berkuasa sejak 20 Oktober 1999.
Pengalaman memimpin
Muhammadiyah dalam kondisi semacam itu sungguh sangat membekas dalam
hati dan perasaan saya. Ternyata sebagian umat Islam ketika tokoh
idolanya sedang berada dalam proses kejatuhan karena dinilai melakukan
kesalahan menjadi tidak stabil dan tidak normal, bahkan bisa berbuat apa
saja yang dilarang agama. Sejarah Islam dalam bilangan abad tidak sunyi
dari pengalaman pahit serupa ini, tetapi kita tidak mau belajar untuk
tidak mengulanginya.
Alhamdulillah, beberapa bulan setelah itu
hubungan NU-Muhammadiyah di tingkat dasar berangsur pulih secara
perlahan, tetapi pasti. Kata orang, kepemimpinan saya telah lulus ujian,
sekalipun Muhammadiyah harus berkorban. PBNU bukannya tidak mengakui
bahwa milik Muhammadiyah telah dirusak oleh warganya. Oleh sebab itu,
bantuan mereka tawarkan untuk perbaikan kembali, tetapi PWM Jawa Timur
dengan sopan menolaknya dengan alasan: “…secara spontan warga
Muhammadiyah telah mulai melakukan perbaikan.” Jawaban ini sebenarnya
tajam, tetapi dianyam dalam bahasa simbolis yang santun, sejalan dengan
salah satu diktum dalam kepribadian Muhammadiyah yang berbunyi:
“Memperbanyak kawan dan mengamalkan ukhuwah Islamiyah.”
Saya dan
teman-teman pimpinan yang telah bekerja keras sejak muktamar tahun 2000
untuk merajut tali persaudaraan yang tulus dengan kalangan NU tentu
cukup terluka dengan apa yang dialami Muhammadiyah di Jawa Timur.
Tetapi, di awal tahun 2002, upaya menguatkan persaudaraan itu saya
teruskan lagi dengan hasil yang lumayan. Inilah rupanya risiko yang
harus dilalui Muhammadiyah karena anggota masyarakat tertentu belum bisa
membedakan antara figur Amien Rais sebagai Ketua MPR dengan
Muhammadiyah yang ketika itu sudah berada di bawah kepemimpinan saya.
Sampai dengan muktamar ke-45 di Malang, Juli 2005, gangguan terhadap
Muhammadiyah sudah jauh berkurang, bahkan sampai hari ini, setelah saya
sejak tahun itu tidak lagi berada dalam kepengurusan PP Muhammadiyah
karena usia sudah 70 tahun.
Itulah sekilas pengalaman dari
seorang anak kampung tersuruk dalam kiprah gerakan Muhammadiyah
berhadapan dengan realitas umat dan bangsa. Suka dan getir saling
melengkapi. Dalam segala cuaca, stamina spiritual memang tidak boleh
melemah, sekalipun tidak jarang saya merasa sangat lelah.
http://www.republika.co.id/berita/kolom/resonansi/13/04/22/mlnr53-pengalaman-memimpin-muhammadiyah-3habis
Comments
Post a Comment