Penulis: Rahma Huda Putranto,
S.Pd.
Diterbitkan di media daring:
rahmahuda.blogspot.com
Sekolah dasar negeri kini mendapat tantangan luar biasa. Tantangan ini
timbul karena banyak sekolah dasar swasta dan madrasah ibtidaiyah negeri
ataupun swasta yang berdiri berdampingan. Sehingga tak jarang sekolah dasar
negeri kehilangan siswa karena masyarakat sekitar lebih memilih sekolah dasar
swasta atau madrasah ibtidaiyah. Efeknya beberapa sekolah dasar negeri terpaksa
ditutup atau digabung dengan sekolah dasar negeri yang lain karena jumlah siswa
tidak mencapai ketentuan minimal.
Madrasah ibtidaiyah dapat berkembang melampaui sekolah dasar negeri karena menerapkan
pendidikan berbasis agama dan kuatnya hubungan dengan tokoh sekitar. Madrasah
ibtidaiyah menggunakan pendidikan berbasis agama sebagai pembeda sekaligus
nilai tambah bagi siswa yang bersekolah di madrasah ibtidaiyah. Namun tak
jarang orang tua memilih madrasah ibtidaiyah atas nasihat tokoh agama setempat,
misalnya Kyai atau imam masjid di lingkungannya. Sehingga madrasah ibtidaiyah dengan
kepasifannya tetap mendapatkan siswa karena keaktifan tokoh setempat dan basis
pendidikan agama yang diterapkan.
Berbeda dengan sekolah dasar swasta yang tidak berbasis agama. Mau tidak
mau sekolah dasar swasta harus aktif menggaet calon siswanya. Mulai dari
penyediaan fasilitas yang mumpuni, guru yang profesional, kurikulum terbaru,
kecakapan berbahasa asing sebagai kompetensi tambahan dan berbagai macam
ekstrakurikuler yang dapat dipilih siswa.
Sekolah dasar negeri semakin terpojokkan ketika para pengembang properti berbondong-bondong
mendirikan sekolah dasar swasta baru guna mendukung perumahan yang sedang dikembangkan.
Sekolah yang didirikan pengembang tentu lebih unggul dalam hal fasilitas apabila
dibandingkan dengan sekolah dasar negeri karena dalam pendiriannya, sekolah
dasar swasta pendukung fasilitas properti ini mendapat sokongan dana yang kuat
dari pemodal.
Sekolah dasar negeri mau tidak mau harus melakukan positioning dan
diferensiasi dengan para pesaingnya agar tetap mendapat kepercayaan dari
masyarakat. Sekolah dasar negeri tidak boleh hanya mengandalkan slogan sekolah
gratis tanpa pungutan. Agar sekolah dasar negeri bisa berdiri sejajar dengan
sekolah dasar atau madrasah ibtidaiyah swasta, sekolah dasar negeri harus
meningkatkan mutu pendidikannya. Sebenarnya sekolah dasar negeri melalui
kebijakan pemerintah telah menerapkan gagasan yang baik berupa manajemen
berbasis sekolah. Namun diketahui, hanya mengandalkan MBS saja tidaklah cukup
dan harus dilengkapi dengan semangat mutu agar bisa bersaing.
Ketika membicarakan mutu, ada baiknya kita melihat dunia industri. Persaingan
dunia industri yang begitu ketat, menyadarkan pelaku industri agar selalu memperhatikan
mutu produksinya. Sehingga dunia industri melahirkan istilah Total Quality
Management (TQM).
TQM ini dapat diartikan secara bebas menjadi manajemen mutu terpadu. TQM di
dunia industri pertama kali diterapkan di negara jepang paska kekalahan perang
dunia kedua. Kini kita tahu jepang menjadi raksasa industri yang mampu menembus
pasar dunia sejak tahun 1950 karena memperhatikan mutu produksi dan
berorientasi pada kepuasan pelanggan.
Berdasarkan keberhasilan TQM di dunia industri, dunia pendidikan mulai
memperhatikan TQM. Masa awal pertalian antara TQM dengan dunia pendidikan
mendapat penolakan. Karena dunia pendidikan saat itu enggan menyamakan
pendidikan dengan industri, sehingga penggunaan istilah industri di dunia
pendidikan sangat dihindari.
Meskipun demikian, Inggris secara tidak langsung menerapkan TQM di dunia
pendidikan. Hal ini bertepatan dengan dikeluarkannya Undang-Undang Reformasi Pendidikan
pada tahun 1988 (Sallis, 2015:37). Penerapan TQM di pendidikan Inggris mulai
menginspirasi negara-negara maju untuk menerapkan TQM di dunia pendidikan.
Hong Kong yang kini menjadi salah satu negara maju mulai menerapkan TQM di
dunia pendidikannya pada tahun 1997. Hong Kong saat itu fokus pada perubahan
pendidikan dari sisi kuantitas menuju kualitas. Karakteristik TQM yang
dikembangkan Hong Kong adalah: (1) kerangka pengembangan dan pengawasan
kualitas pendidikan di sekolah; (2) pelaksanaan pendidikan yang berkualitas di
sekolah; (3) penilaian pada pelaksanaan; (4) tunjangan untuk mendorong
pendidikan yang berkualitas; (5) manajemen berbasis sekolah; dan (6)
fleksibilitas pendanaan (Yau, 2013:16).
Kebijakan tata kelola sekolah dasar di Indonesia apabila dibandingkan
dengan kebijakan pendidikan di Hong Kong akan ditemukan berbagai macam
kesamaan. Misalnya, kerangka pengembangan dan pengawasan kualitas pendidikan di
sekolah Indonesia telah dicetuskan dalam delapan standar nasional pendidikan.
Dalam pelaksanaan pendidikan yang berkualitas, Indonesia telah ditopang dengan
penggunaan kurikulum 2013 yang telah direvisi.
Penilaian pelaksanaan pendidikan di sekolah juga telah dilakukan pemerintah
Indonesia dengan mekanisme evaluasi diri sekolah yang dilakukan setiap tahun
dan akreditasi sekolah yang dilaksanakan lima tahun sekali. Tunjangan untuk
mendorong pendidikan telah diberikan melalui mekanisme tunjangan sertifikasi
guru senilai satu kali gaji pokok. Manajemen berbasis sekolah pun telah getol
disosialisasikan dan dipraktikkan di dunia pendidikan Indonesia. Bahkan Sekolah
Dasar negeri tidak perlu khawatir terkait pendanaan dalam rangka
penyelenggaraan pendidikan karena telah ada dana Bantuan Operasional Sekolah
(BOS). Bahkan apabila dana BOS kurang, sekolah dapat memohon sumbangan melalui
komite sekolah yang dalam hal ini telah dilindungi oleh regulasi dari
pemerintah.
Berdasarkan uraian di atas, regulasi tata kelola sekolah dasar negeri yang
dikeluarkan Pemerintah Indonesia telah berorientasi pada filosofi TQM. Namun filosofi
TQM yang terkandung dalam regulasi tersebut tidak berdampak luas dan merata di
semua sekolah dasar negeri yang ada di Indonesia. Hal ini dikarenakan pelaksana
pendidikan Indonesia tidak memahami pesan moral TQM.
Oleh karena itu sesuai pendapat dari Edward Sallis (2015:66), TQM
memerlukan perubahan kultur. Penyelenggara pendidikan di sekolah dasar negeri
harus memahami urgensi perbaikan kultur yang berorientasi pada mutu. Konsep
perubahan kultur bertujuan membentuk budaya organisasi yang menghargai mutu dan
menjadikan mutu sebagai orientasi semua komponen organisasional. Jika filosofi
TQM diterapkan di sekolah dasar negeri, maka kepala sekolah harus membangun
kesadaran mutu kepada seluruh warga sekolah termasuk komite sekolah dan dinas
terkait.
Beranjak dari pembahasan tersebut, dalam tataran operasional, ada beberapa
hal pokok yang harus diperhatikan. Pertama,
perbaikan secara terus menerus (continous
improvement). Konsep ini berarti sekolah dasar negeri harus mau memperbaiki
diri dalam rangka pencapaian mutu yang telah ditetapkan pemerintah yang
tercakup dalam delapan standar nasional pendidikan dan memenuhi keinginan serta
kebutuhan masyarakat. Sehingga lulusan sekolah dasar negeri memiliki kompetensi
sesuai standar nasional dan memenuhi harapan masyarakat.
Kedua, mempertahankan hubungan dengan pelanggan (keeping close the customer). TQM
membedakan pelanggan menjadi pelanggan dalam (internal customer) dan pelanggan luar (external customer). Pelanggan dalam di sekolah dasar negeri
meliputi siswa, guru, tenaga kependidikan, kepala sekolah, dan dinas
pendidikan. Pelanggan luar di sekolah dasar negeri meliputi komite sekolah,
orang tua wali dan pengguna lulusan. Mempertahankan hubungan dengan pelanggan
menjadi modal utama untuk meraih kepuasan pelanggan. Sehingga terjalin hubungan
sinergis antara pelanggan dan sekolah dasar negeri.
Pada akhirnya, dalam rangka menjaga eksistensi sekolah dasar negeri, pelaku
pendidikan di sekolah dasar negeri harus memahami filosofi TQM dalam melaksanakan
kegiatan belajar dan mengajar di sekolah. Jika filosofi TQM ini diterapkan
dengan baik, akan ada perubahan yang efektif dan efisien dalam tata kelola sekolah
dasar negeri. Perubahan tersebut berupa pengembangan dan peningkatan mutu
pendidikan di sekolah dasar negeri. Yang pada akhirnya sekolah dasar negeri
akan tetap mendapatkan tempat istimewa di hati masyarakat.
DAFTAR PUSTAKA
Sallis, Edward. 2015. Total
Quality Management in Education. Yogyakarta: IRCiSod.
Yau, Hong Keung dan Alison Lai Fong Cheng.”Quality Management in Primary School”,
dalam International Education Research, I (4),
hlm.16-31.
Comments
Post a Comment