Hari ketiga, saya berangkat awal sekali. Walau semalam hanya tidur sebentar. Karena badan Rafi panas ditambah muntah karena lendir yang sangat banyak. Hampir setiap satu jam sekali terbangun. Agar tidur kembali harus digendong. Karena beberapa kali tidak mau menyusu. Ketika digendong terdengar dengan jelas suara grok-grok dari dadanya. Terutama ketika menarik nafas.
Malam ini terasa sangat panjang. Mengingat saya berjanji kepada diri saya sendiri bahwa malam ini saya akan mempersiapkan perangkat pembelajaran untuk esok hari. Namun daya tak kuasa menerima keadaan ini. Saya bersama istri mau tidak mau harus fokus dalam merawat buah hati kami. Menjelang pagi, istri saya yang juga seorang tenaga kesehatan merekomendasikan untuk membawa Rafi ke dokter spesialis anak. Kami punya dokter spesialis anak yang bernama Prof. dr. Sunarto, Sp.A. yang membuka praktek di Jalan Jogja-Semarang, Mertoyudan.
Rekomendasi itu saya setujui. Namun perasaan di hati mulai bergejolak. Di tempat kerja yang lama, saya bisa saja izin terlambat untuk mengantar anak ke dokter. Tapi saat ini saya hal itu tidak bisa aku lakukan. Memang tidak ada seorang pun yang melarang. Hanya saja perasaan kali ini berbeda karena saya kini baru saja memulai kerja di tempat yang baru. Tidak main-main di SD unggul Kecamatan Borobudur.
Status SD unggul inilah yang membuat saya berpikir seribu kali hanya untuk izin terlambat karena harus mengantar anak ke dokter. Apa kata wali murid nanti ketika saya terlambat. Resiko apa yang nanti harus saya terima dari kepala sekolah karena saya terlambat. Pikiran semakin berat ketika bercampur dengan rasa iba melihat Rafi "sesenggrukan".
Di tengah kegalauan itu, istri memberi solusi. Ia sudah hafal kalau saya pasti akan lama memberikan keputusan kalau sudah melibatkan perasaan. Ia memberikan solusi untuk menyerahkan urusan Rafi kepadanya. Namun aku juga memberikan syarat kepada istriku agar ia mengambil jatah cuti di tempat kerjanya. Cuti dengan pertimbangan agar istri dapat fokus merawat Rafi.
Tetap Berangkat
Akhirnya saya berangkat kerja. Sesampainya di SD, saya langsung membuka laptop. Menyambungkannya ke wifi. Kemudian mendownload video beberapa tari daerah Indonesia. Hal ini saya benar-benar saya luangkan. Agar hari ini tidak berakhir sia-sia. Apalagi sudah meninggalkan anak istri di rumah.
Pemanfaatan video ini merupakan tindak lanjut dari refleksi yang dilakukan ketika hari Jumat kemarin. Saya memanfaatkan video untuk menarik minat dan perhatian siswa. Terbukti, ketika video hasil download ini saya tampilkan di kelas, semua mata tertuju padanya.
Hasilnya secara umum positif. Tidak ada kegaduhan yang berarti. Hanya ketika siswa diajak diskusi dan merefleksi video yang sudah ditampilkan, masih ada jawaban-jawaban yang kesannya "nyelelek".
Sikap siswa yang "nyelelek" ini membuat situasi tidak kondusif. Banyak siswa yang menertawakan apa yanh dibicarakan dari siswa yang "nyelelek" itu. Inilah keadaan destruktif yang merukan kegiatan belajar mengajar.
Sikap nyelelek ini terbukti merugikan. Sehingga tercetuslah sebuah rumusan "bagaimana cara mencegah siswa agar tidak nyelelek?". Hipotesa atau jawaban sementara saya, nyelelek itu hanya bisa diperbaiki dengan sikap "serius". Serius dalam berucap, bertindak dan memberikan konsekuensi yang sepadan.
Borobudur, 3 Maret 2018
Comments
Post a Comment