Pesan ini saya tulis di atas gojek perjalanan dari Salam menuju rumah. Gojek yg biasanya "cak cek" alias "gercep" menjemput pelanggan tidak kurasakan kali ini. Emosi sebagai seorang netizen +62 sempat mewarnai hati dan pikiranku.
Ingin kuberi dia hukuman kejam sebagai balasan tidak segera menjemputku. "Tak cancel, kapok njenengan!" Begitu umpatanku dalam pesan chatnya. Chat itu hanya dibalas dengan "tunggu ya kak."
Chat terbalas dan kau tidak sampai juga. Hmm sekarang jurus andalan netizen ingin kulakukan. Ku luncurkan bintang 1 bila sampai rumah nanti. Atau kumaki saja dia langsung begitu sampai di tempat penjemputan.
Semua jurus balas dendam itu sirna seketika. Begitu melihat driver ini secara langsung. Jujur, nyali saya tidak menciut sedikit pun untuk mencacinya. Hanya saja ada perasaan yang membuatku berhenti melakukan itu.
Ku lihat dengan tatapan iba malalui kedua bola matanya. Hanya butuh tiga detik untuk meluncurkan sumpah serapahku. Tapi sekali lagi hal itu tidak terjadi.
Di detik yang kedua ia tersenyum padaku. Dengan motor produksi sepuluh tahun lalu, ia meminta maaf karena terlambat menjemput. Ternyata anaknya "klayu" ingin ikut ayahnya bekerja jadi driver gojek.
Ucapan itu membuatku trenyuh. Aku pun mengalami hal yang sama sepertimu, bung. Jiwa kebapakan kita terlalu humanis. Tak bisa begitu saja meninggalkan anak kita di rumah.
Saya pun mengalami hal itu. Tak peduli ada presensi online berbasis GPS aku tetap meluangkan waktu untuk anak-anakku. Bila mereka merengek, aku gendong mereka sambil memberikan pengertian bahwa ayah
nya harus bekerja.
Aku tidak mendoktrin mereka kalau bekerja agar bisa beli susu, pampers dan kebutuhan lainnya. Terlalu cengeng bagi seorang ayah mengatakan hal-hal itu pada anaknya. Aku hanya katakan bahwa harga diri seorang lelaki adalah bekerja, nak! Maka ayahmu ini harus bekerja "nyambut damel." Nyambut yang artinya pinjam. Yang kupinjam adalah pekerjaan Tuhan yang dianugerahkan kepada manusia sebagai "khalifah fil ardh."
Saya pun tidak pernah menyesal terlambat masuk kerja selama bisa memahamkan anak-anakku. Anakku harus melepas kepergianku dengan senyum bangga. Bukan dengan uraian atau air mata.
Kini tak ku bintang satu driver gojek ini. Aku beri dia bintang lima karena memberikan keputusan yang tepat pada anaknya. Dia tidak pergi ketika anaknya beruraian air mata. Dia cerdas karena memilih anaknya, bukan aku.
Anaknya lah yang jadi masa depan dia. Bukan aku, seorang netizen "nekat" yang kadang tak mau pikir panjang karena emosi sesaat. Kalau dibintang 1 olehku mungkin efeknya hanya sehari dua hari akun gojeknya tidak "gacor" alias susah nyari penumpang.
Untung ia tidak dibintang satu oleh anaknya. Bintang satu dari anak bisa-bisa efeknya selamanya. Bisa ia trauma dan takut pada ayahnya. Tulisan ini dibuat tepat ketika berada di depan rumah.
Aku katakan dengan tegas. Ku kasih panjenengan bintang lima. Ia tersenyum sumringah sambil berkata "ya makasih, mas." Aku yakin dia tidak tahu alasanku memberinya bintang lima. Dalam batinku, kukatakan kalau bintang lima ini spesial untuk anakmu.
Ditulis di atas gojek, tanpa dibaca atau disunting ulang.
Salam-Borobudur, 15 Februari 2020
Foto 1: di suatu pagi ketika diskusi agar tidak "klayu"
Foto 2: screenshoot aplikasi gojek yang ku tunggangi
Trenyuh dek
ReplyDelete