"Kene lho metu, anak e ki di rumat!" teriak ibuku.
Ini adalah hari ke sepuluh sejak aku tetapkan bekerja dari rumah. Aku kali memang mencoba taat terhadap anjuran-anjuran pemerintah dalam menghadapi pandemi ini. Alasannya sederhana, pemerintah yang punya sumberdaya untuk menganalisis situasi bahwa Covid-19 itu benar-benar ada dan menjadi pandemi.
Teriakan demi teriakan meluncur ke dalam lubang telinga. Akhirnya ku putuskan untuk keluar kamar. Kamar ini juga kutetapkan sebagai kantor darurat sebagai kelengkapan Work From Home. Aku ibaratkan kamar ini layaknya Bukittinggi yang menjadi pusat pemerintahan darurat ketika masa kemerdekaan dulu.
Saya pangku anak-anakku. Satu masih berusia tujuh bulan dan satunya tiga tahun. Bercengkerama dengan anak-anak memang mengasyikkan. Tak perlu berpikir cukup ikuti naluri kemanusiaan maka kita akan bisa bercengkerama dengan mereka yang penuh kepolosan.
Sesekali ibu anak-anakku menanyakan kondisi anak-anak. Dia menghubungiku karena tahu aku di rumah. Oh iya, istriku memang tenaga kesehatan. Dibuktikan dengan keanggotaanya pada organisasi profesi kesehatan -yang jenis tenaga kesehatannya tidak saya ceritakan disini. Namun ia tidak bekerja langsung menangani pasien karena bekerja pada bidang perizinan.
Kenyamanan lekat dengan keterlenaan. Lima jam sudah aku bercengkerama dengan mereka. Kulakukan berbagai macam hal bersama anak-anak. Walau tetap dibantu oleh orang yang bertugas "momong" anak-anak.
Lima jam itu menghabiskan waktu produktifku untuk bekerja. Kesanku, aku belum berhasil menerapkan sistem kerja dari rumah. Karena bekerja dari rumah merupakan kebiasaan baru yang diterapkan beberapa minggu belakangan setelah terdampak Covid-19 kian meningkat.
Ketidakproduktifanku bekerja dari rumah karena lingkungan terdekatku menganggap aku di rumah karena libur. Maklum, bekerja dari rumah menjadi kebiasaan baru yang sebelumnya tidak dikenal di lingkungan sekitarku. Aku dianggap bekerja kalau pagi-pagi mandi. Lantas berangkat ke kantor. Pulangnya pun siang atau sore hari.
Aku ingin umumkan pada orang-orang di sekitarku kalau aku di rumah, maka aku harus tetap bekerja. Akan tetapi karena melawan paradigma itu membutuhkan waktu, apalagi harus memberi tahu orang-orang terdekat membutuhkan kehati-hatian. Ketidak hati-hatian bisa saja menjerumuskanmu pada prasangka yang melebarkan jurang perbedaan.
Bisa-bisa dianggap tidak mau "ngurus" anak, rumah atau apapun itu. Maka saran saya bagi teman-teman yang bekerja dari rumah, silahkan beri pemahaman dulu kepada lingkungan sekitar. Bahwa ada alokasi khusus untuk tetap berdiam diri di ruang kerja walau kita tetap berada di rumah. Memang sih, keberhasilan harus dimulai dari hal-hal terdekat.
Comments
Post a Comment