Featured Post
- Get link
- X
- Other Apps
Apa masih mau menjadi pejabat?
"Apa masih mau menjadi pejabat?"
Itulah pertanyaan yang muncul ketika saya menembus derasnya hujan. Hujan ini kutembus menggunakan sepeda motor. Sehingga rasanya mengena sampai ke sanubari. Sanubari berteriak. Pertanyaan itu semakin menggelora pikiran saya. Geloranya seirama dengan kepakan jas hujan plastik kresek yang kupakai.
Ini adalah perjalananku menuju ke rumah dari rumah seorang pengusaha yang menjadi pejabat di daerah "Kulon Progo." Saya sengaja menuliskannya dengan tanda kutip karena maknanya berbeda dengan fakta yang sering dipahami banyak orang.
Saat aku sowan dan duduk bersamanya, aku lebih banyak mendengar daripada berbicara. Tak kusangka beliau banyak memberikan hikmah-hikmah pengalamannya kepada kami -saya sowan tidak sendiri, tapi bersama dengan seorang senior.
Bagi pandangan orang awam -seperti pandangan saya sebelum pertemuan ini- menjadi seorang pejabat sangatlah keren. Keren karena kehadirannya selalu dinantikan. Bahkan pejabat ketika hadir di tengah perhelatan selalu "disobyo-sobyo" alias dielu-elukan.
Setiap pidato selalu disebut sebagai yang terhormat atau yang kami hormati. Tanda tangannya mengandung kuasa. Bahkan suaranya dapat menjadi kebijakan yang menentukan nasib rakyat dan bawahannya.
Tapi tidak semua pejabat itu keren seperti yang saya ceritakan di atas. Pejabat itu harus selalu bisa mengetahui kehendak "atasannya." Karena statusnya sebagai pejabat sangat ditentukan oleh "kehendaknya." Kehendak ini tidak melulu dari orang-orang yang ada di depan kita. Bisa juga dari "dewo-dewo" alias "invicible goverment."
Kehendaknya inilah sesuatu yang berada di luar kendali pejabat tersebut. Bisa juga baru sebulan di lantik langsung di-staff-kan. Bahkan bisa juga pejabat ini diadu domba oleh pihak-pihak tertentu. Yang paling ngeri, ketika pejabat polos dan lurus dijebak dalam perkara hukum. Dimana dia bisa kehilangan jabatan. Sampai-sampai ada juga yang kehilangan kebebasannya karena masuk ke bui.
Jebakan-jebakan itu juga tidak terlepas dari kolega sesama pejabat. Sial kalau bertemu pejabat yang "ngolor." Ngolor dalam arti suka cari m*ka bahkan menj*l*t kesana kemari.
Belum lagi kalau ketemu kolega yang sudah diberi bantuan tapi malah mengadu domba. Diberi hati malah merebut ampela. Ini susah sekali.
Ada yang lebih kasihan lagi. Terutama ketika pejabat tersebut memasuki masa purna tugas. Segala fasilitas jabatannya ditarik seketika. Seolah perjuangannya selama puluhan tahun berkarir sebagai birokrat tiada artinya.
Penghasilannya ketika pensiun tidak sebanyak ketika di usia muda. Padahal harusnya di hari tua kita bisa memetik buah yang lebih banyak atas apa yang sudah diusahakan ketika masih muda. Sudah tak ada lagi yang memanggil yang terhormat.
Sial sungguh sial kalau ketika selesai menjabat ia tidak dianggap lagi oleh anak buahnya. Ini mungkin terjadi. Terutama bagi para pejabat yang galak sewaktu menjabat.
Lantas paling enak jadi apa. Kalau versi orang "Kulon Progo" ini lebih baik jadi PENGUSAHA! Punya banyak uang, bisa kenal banyak pejabat. Nasib pengusaha lebih banyak ditentukan oleh diri sendiri daripada pejabat atau penguasa.
- Get link
- X
- Other Apps
Comments
Post a Comment