Skip to main content

Featured Post

Profil Rahma Huda Putranto

Rahma Huda Putranto, S.Pd., M.Pd.  adalah Duta Baca Kabupaten Magelang yang   lahir di Magelang, pada tahun 1992, lulus dengan predikat cumlaude dari Jurusan S-1 Pendidikan Guru Sekolah Dasar Universitas Negeri Semarang tahun 2014. Pernah menempuh Program Magister Manajemen Pendidikan di Universitas Ahmad Dahlan Yogyakarta. Selain itu, gelar magister bidang pendidikannya juga diperoleh melalui Program Magister Manajemen Pendidikan di Universitas Negeri Yogyakarta. Penulis pernah bekerja sebagai guru di SD Muhammadiyah Borobudur. Kemudian mendapat penempatan di SDN Giripurno 2 Kecamatan Borobudur sebagai Pegawai Negeri Sipil. Terhitung mulai tanggal 1 Maret 2018 mendapat tugas baru di SD Negeri Borobudur 1. Alamat tempat tinggal penulis berada di dusun Jayan RT 02 RW 01, Desa Borobudur, Kecamatan Borobudur, Kabupaten Magelang, Provinsi Jawa Tengah. Selain itu, penulis dapat dihubungi melalui email r_huda_p@yahoo.co.id. Penulis pernah mengikuti program Latihan Mengaj...

Budaya Jawa Membutuhkan Kolektivitas

Saya tidak sengaja menonton rekomendasi video dari YouTube. YouTube menampilkan video keluarga Ki Seno Nugroho. Saya tonton saja secara acak. Awalnya, saya berniat menonton satu video saja. Lalu tak sengaja berpindah ke video lainnya. Akhirnya satu jam waktu yang saya habiskan untuk menonton video-video ini.

Video yang saya tonton berasal dari channel Ketua Pemuda Karang Kadempel, Dalang Seno, Ki Gadhing Pawukir Seno Saputro, sampai dengan Ki Gadhang Prasetyo. Dua nama terakhir ini merupakan channel Youtube milik putra dari Almarhum Ki Seno Nugroho. Dari beberapa video yang saya tonton memberikan kesan bagaimana kedua putra dalang kondang ini saling bahu-membahu. Mereka saling berkolaborasi untuk meneruskan cita-cita almarhum ayahnya.

Kita sampai saat ini masih dapat menyaksikan vlog yang dibuat dan diunggah Ki Seno di channel Ketua Pemuda Karang Kadempel. Melalui channel ini saya melihat bagaimana seorang anak bernama Gadhing Pawukir  memimpin teman-teman seusianya untuk menabuh gamelan.

Caranya cukup unik. Ia mengajak teman-temannya memainkan gamelan dengan lagu yang viral kala itu. Lagu soundtrack Spongebob dimainkan menggunakan gamelan. Teman-temannya pun sangat menikmati bermain gamelan dengan lagu ini. Bayangan saya, di benak mereka bahkan di benak saya. Mereka berpikir, keren ya bisa memainkan lagu viral.

Video “memimpin teman-temannya bermain gamelan” ini membuat saya merenung. Gamelan berbeda dengan musik band masa kini. Dari jumlah pemainya, personill band tenar rata-rata berjumlah lima orang Ya walaupun ada juga band yang personilnya lebih dari lima. Apalagi kalau ada pemain terompetnya. Sementara itu, seperangkat gamelan jika ingin dimainkan secara berstandar, perlu ada sepuluh orang lebih.

Disini kita melihat bahwa yang namanya seni, terutama seni budaya Jawa dibangun oleh sebuah kolektivitas. Alat musiknya tidak akan gayeng jika tidak dimainkan secara lengkap. Lantas, apa yang dilakukan oleh Gadhing Pawukir di video tersebut patut mendapatkan apresiasi. Ia berupaya membangun kolektivitas di usianya yang relatif masih sangat muda.

Lain halnya dengan apa yang tertampil di video Channel Ki Gadhang Prasetyo. Saya juga melihat sesuatu yang unik. Kakak-beradik ini, Gadhing dan Gadhang ini saling bahu-membahu untuk bergantian menabuh gamelan. Terkadang, satu ada yang memainkan wayang, satunya menabuh Gamelan. Usia yang tidak terlampau jauh dan memiliki minat yang sama ini membuat mereka berdua tampak kompak. Akur dalam “nguri-uri” kebudayaan Jawa.

Pada akhirnya, saya berpikir. Kebudayaan Jawa membutuhkan kolektivitas. Kebudayaan Jawa tidak dibentuk dari rasa egoisme diri. Coba saja kalau Dalang mau menangnya sendiri. Tidak mungkin ia mendapat dukungan dari para pemain gamelan. Disini saya melihat, kedua putra dalang ini dapat menumbuhkan kolektivitas satu sama lain. Hingga akhirnya lima atau sepuluh tahun lagi kita akan melihat bagaimana mereka piawai menampilkan berbagai karakter wayang. Tentu dengan dukungan kolektivitas dari para crew.


Rahma Huda Putranto
Borobudur, 27 Maret 2022

Comments

Baca Juga