Featured Post
- Get link
- X
- Other Apps
Mensyukuri, Mengingini Apa yang Dimiliki
Mengingini. Entah kata ini betul atau tidak. Saya hanya ingin mengungkapkan kata yang artinya mengambil ingin. Hal ini saya maknai dengan meng-ingin-i.
Di sisi yang lain, mengingini akan lebih tepat kalau diganti dengan kata menginginkan. Hanya saja, dalam pengucapannya, saya lebih senang dengan kata mengingini. Unik, karena tidak banyak digunakan.
Mengingini ini saya awali dengan bayangan saya tentang otak manusia. Otak manusia mampu membuat gambaran, bayangan, dan visualisasi yang sangat lengkap. Otak memiliki potensi untuk menyimpan kenangan. Mengolah apa yang dilihat, dirasakan, dan didengar. Entah yang terjadi di masa lalu, kini dan nanti.
Otak memiliki kemampuan berkreativitas. Kreativitas disini artinya dapat membuat sesuatu yang sebelumnya tidak ada menjadi ada. Kreativitas bila diarahkan pada hal yang benar, akan berubah menjadi suatu inovasi. Modal inovasi adalah kreativitas.
Akan tetapi, kreativitas bisa juga menjebak manusia. Terutama ketika manusia mengarahkannya pada arah yang keliru. Yang jadi pikiran saya saat ini adalah, kapan arah itu dianggap keliru? ini yang belum saya ketahui.
Hanya saja, saya pernah mengalami kreativitas yang kurang positif. Terutama jika kelebihan "dosis". Kreativitas ini berupa aktivitas mengingini. Bila kelebihan dosis, namanya jadi terlalu mengingini.
Sungguh, terlalu mengingi itu tidak enak. Mengingini itu bagai menggenggam bayangan. Kita tidak dapat menyentuh bayangan. Apalagi meraihnya.
Saya lihat bayangan diri saya. Di balik pendar cahaya yang melewati tubuh, bayangan hitam itu memang sangat terlihat. Hitam legam. Namun, tak nyata.
Sebab, ketika saya coba menyentuhnya, tak dapat. Kukejar bayangan itu sambil berlari. Bayangan itu turut serta berlari.
Kupercepat tanganku meraihnya, tak mampu juga. Tiada habis. Yang ada hanya lelah yang diperoleh. Sungguh, ini yang membuat saya termenung.
sumber foto: unsplash |
Mengingini itu seperti mengejar bayangan. Tak sampai. Dan belum tentu nyata. Lantas apa yang nyata?
Yang nyata adalah pendar cahaya yang menciptakan bayang-bayang? Bukan. Sebab, cahaya seperti bayangan. Terlihat ada tapi tidak dapat direngkuh.
Sementara ini saya berkesimpulan, yang nyata adalah sumber cahaya itu. Cahaya itu dapat bersumber dari lampu, matahari, dsb. Sumber ini yang perlu kita identifikasi.
Sumber cahaya memang nyata. Dapat disentuh. Dapat diraba. Walau mungkin, sumber cahaya itu dapat melukai. Ada kalanya kita tidak perlu menyentuhnya. Cukup mengetahui saja sudah lumayan. Kesadaran ini membukakan mata.
Lantas, mengingini sumber cahaya itu seperti apa? Mengingini disini maksudnya ingin pada sesuatu yang nyata. Tidak hanya nyata. Akan lebih kokoh lagi kalau sesuatu yang nyata itu memang sudah benar-benar kita miliki.
Mengingini sesuatu yang telah dimiliki? Namanya bukan ingin dong. Ya, tidak dong. Mengingini sesuatu yang dimiliki dapat diwujudkan dalam berbagai bentuk. Teman saya pernah bercerita. Ia menginginkan motor trail. Namun, hanya punya motor supra.
Ia bisa saja menjual motor supranya untuk membeli motor trail. Sayangnya, ia tidak memiliki cukup dana. Akhirnya, ia mencoba mengingi pada barang yang telah ia miliki, yaitu motor supra.
Motor supra itu ia modifikasi menjadi motor trail. Ia memang memiliki keterampilan di bidang otomotif. Ia memiliki beragam cara untuk mengubahnya menjadi motor trail. Dan terwujud.
Jadi, mengingini pada sesuatu yang kita miliki dapat diartikan dengan mensyukuri. Syukur terhadap apa yang sudah dimiliki. Yaitu, mengoptimalkan apa yang benar-benar ada di dalam genggaman kita.
Mengingini apa yang ada lebih penting. Daripada mengingini yang tidak dimiliki. Toh selama ini, apa yang kita miliki belum tentu dapat dioptimalkan. Disiniliah mengingini sesuatu yang dimiliki mendapat tempat yang pantas.
Borobudur, 21 Mei 2022
- Get link
- X
- Other Apps
Comments
Post a Comment