Skip to main content

Featured Post

Profil Rahma Huda Putranto

Rahma Huda Putranto, S.Pd., M.Pd.  adalah Duta Baca Kabupaten Magelang yang   lahir di Magelang, pada tahun 1992, lulus dengan predikat cumlaude dari Jurusan S-1 Pendidikan Guru Sekolah Dasar Universitas Negeri Semarang tahun 2014. Pernah menempuh Program Magister Manajemen Pendidikan di Universitas Ahmad Dahlan Yogyakarta. Selain itu, gelar magister bidang pendidikannya juga diperoleh melalui Program Magister Manajemen Pendidikan di Universitas Negeri Yogyakarta. Penulis pernah bekerja sebagai guru di SD Muhammadiyah Borobudur. Kemudian mendapat penempatan di SDN Giripurno 2 Kecamatan Borobudur sebagai Pegawai Negeri Sipil. Terhitung mulai tanggal 1 Maret 2018 mendapat tugas baru di SD Negeri Borobudur 1. Alamat tempat tinggal penulis berada di dusun Jayan RT 02 RW 01, Desa Borobudur, Kecamatan Borobudur, Kabupaten Magelang, Provinsi Jawa Tengah. Selain itu, penulis dapat dihubungi melalui email r_huda_p@yahoo.co.id. Penulis pernah mengikuti program Latihan Mengaj...

Ritual Mengakhiri Antara Mandi Kembang dan Bubur Sumsum

"Ada kendala dalam mengikuti Pendidikan Guru Penggerak?" tanya Pak Samsudin. Pertanyaan dari Pengajar Praktik ini muncul saat pendampingan individu pada hari Selasa (17/05/2022). Pertanyaan ini termasuk pertanyaan sederhana, tapi sangat berarti.

Saya membutuhkan pertanyaan seperti ini untuk menggugah pikiran dan perasaan. Sebab, saya menyadari memang ada kendala dalam diri saya. Terutama saat mengikuti PGP di beberapa minggu terakhir ini.

"Ada," jawab saya. Kendala saya terletak pada perasaan dalam diri. Dari sini saja sudah ketahuan, kendala itu ada dan berasal dari diri saya. Saya tahu pertanyaan apa yang akan dilontarkan selanjutnya. Pasti pertanyaan tentang kendala apa, sebabnya apa dan apa yang bisa dilakukan sebagai solusi dari kendala tersebut.

Sebelum ditanya oleh Pak Samsudin, saya sudah melanjutkan jawaban tepat setelah berkata, "ada". Saya mengatakan kendala bahwa saya mengalami keterlambatan pengerjaan beberapa tugas. Saya jelaskan pula alasannya. Saya jawab pun sebelum ditanya.

"Saya masih enggan mengerjakan, pak. Saya merasa ini masih lebaran. Saya masih ada keperluan untuk silaturahmi kesana-kemari," terang saya.

Saya juga menjelaskan kalau perasaan masih lebaran ini terus hinggap dalam diri saya. Saya juga mencari pembenaran. "Mohon bisa dimaklumi lah, ya. Kan dua tahun kemarin kita semua tidak menikmati lebaran. Baru tahun ini bisa mudik dan silaturahmi ke saudara yang tinggalnya jauh," ungkap saya.

Kejutan muncul ketika saya berhenti berbicara. Pak Sam lantas memberikan saran, "Pak Huda, coba nanti mandi kembang macan kerah." Pak Sam menambahkan penjelasan, "Yang jadi fokus saya bukan kembangnya lho, Pak Huda."

Seketika itu pikiran saya menerobos dengan cepat ke dalam. Seperti ada kesadaran baru. Pikiran ini seolah masuk dan mengalir ke dalam aliran darah.

Kesadaran itu muncul karena saya memang belum melakukan "ritual" mandi kembang ini. Saya juga tahu kalau mandi kembang yang dimaksud disini bukanlah ritual klenik. Bukan ritual was, wis, wus penuh mistisme yang tidak masuk akal.

Efek Psikologis

Ada pemikiran yang logis, sistematis dan komprehensif dari saran ini. Masyarakat Jawa memang terbiasa melakukan "ritual" tertentu untuk mengawali dan mengakhiri suatu kegiatan. Entah kegiatan berskala besar maupun kecil.

Ibu saya sering membuat bubur sumsum ketika suatu hajatan berakhir. Entah itu hajatan sendiri maupun di tempat saudara. Terutama saat "duwe gawe", yaitu ketika pernikahan, sunatan, atau kegiatan lain yang membutuhkan sumber daya besar dan waktu yang cukup lama.

Saya mengibaratkan saran mandi ini seperti pembuatan bubur sumsun ketika hajatan berakhir. Sekali lagi, disini yang jadi fokus kita bukan pada aspek ritual klenik atau mistis. Saat ini budaya/ritual ini memang banyak dihindari. Ada yang mengatakan tidak sesuai ajaran agama, melawan aturan Tuhan, dsb. Hanya saja, kalau boleh menerka, ibu-ibu milenial menghindari pembuatan bubur karena merepotkan.

Bayangan orang sekarang, hajatan selesai ya sudah selesai. Tidak perlu mengadakan atau membuat hal yang aneh-aneh. Buat apa mandi kembang atau membuat bubur itu. Alasannya pun beragam. Kembang harganya mahal. Kembang itu untuk dilihat dan ditanam di tanam. Bukan untuk mandi. Mandi, ya, pakai sabun.

Pikiran di atas memang mendominasi masyarakat modern. Namun, bagi saya yang hidup di tengah keluarga Jawa, "ritual" itu sangatlah logis. Ada alasan yang masuk akal dibalik mandi kembang, bubur sumsum dsb.

Kembali ke saran dari Pak Sam. Saran mandi kembang sangat logis bagi saya. Mandi kembang menjadi "ritual", sebagai penanda bahwa lebaran telah usai. Saat mandi kembang, kita meraih kesadaran kembali. Sebab, mandi ini tidak biasa karena tidak memakai sabun.

Hal ini dapat menjadi penanda bagi diri kita. Bahwa "riyaya" sudah selesai. Pesta telah usai. Saatnya bekerja kembali. Waktunya menghadapi rutinitas.

Disinilah saya menyadari. Saya belum menanamkan sikap "mengakhiri" pada diri saya. Saya masih merasa bahwa hari ini masih lebaran. Masih bisa liburan kesana-kemari. Tidak perlu bekerja. Jadi enggan mengerjakan tugas juga.

Ya, ya, ini seperti dalam cerita carangan wayang kulit. Ketika Bima masuk kedalam diri Dewa Ruci. Ia memohon kepada Sang Ruci Batara untuk tetap tinggal di dalamnya. Namun, Dewa yang sekecil kuku Bima ini menyarankan agar Bima tetap keluar dari dalam dirinya. Ia harus kembali ke dunia nyata untuk menerapkan ilmu kesempurnaan yang diperolehnya.

Jadi, saat ini saya perlu "mengakhiri" lebaran. Walau masih bulan syawal. Saya harus memiliki cara untuk mengakhiri sikap ini. Pikiran saya membutuhkan ketegasan untuk mengakhiri. Saya butuh "ritual" atau tindakan yang mensimbolkan dan menguatkan upaya mengakhiri ini.

Seperti orang sholat, diawali dengan "ritual" takbiratul ihram dan diakhiri dengan salam. Ada cara untuk memulai, ada juga cara untuk mengakhiri. Semangat kembali ke dunia nyata. Belajar kembali melalui PGP. Oh iya, terakhir, mau mandi kembang atau makan bubur?


Rahma Huda Putranto

Borobudur, 22 Mei 2022

Comments

  1. jadi semacam 'pintu' ya, pak. untuk mengawali dan mengakhiri sesuatu. dan lawan utamanya adalah rasa malas akhirnya 'menanti-nantikan' pekerjaan. padahal ini yang harus diberantas, dimulai dari diri sendiri

    ReplyDelete
  2. Saya baru tau ada ritualnya kak,
    Spendapat kak, keluarga saya klu hajatan menu terakhir ya bubur sumsum..

    ReplyDelete
  3. Wah, cerita yang menaik. Ternyata seperti itu yah, padahal yg saya tau itu hanya sebuah tradisi saja yang berkembang di tenga-tengah masyarakat. Keren

    ReplyDelete
  4. tradisi emang gak bisa lepas dari kehidupan sehari-hari ya. meski kadang berbenturan dengan kepercayaan agama tapi gak ada salahnya tetap dilakukan. diniatkan untuk hal yang baik aja

    ReplyDelete
  5. Iya, secara psikologis, sebuah pengingat awal dan akhir bisa jadi membuat efek baik. Semisal mengartikan seberapa besar acaranya, awal dan akhirnya tetap bubur sumsum yang bernilai sederhana.

    Atau mungkin dengan mandi? Ya.. segala sesuatu berawal dengan hal baik berupa kebersihan, lalu berakhir dengan kondisi yang serupa.

    Mungkin, begitu ya? :D

    ReplyDelete
  6. Bubur sumsum biasanya kalau buat selametan. Omong-omong karena sekarang zaman modern, udah ada tempat-tempat yang jual dan terima pesanan bahkan lewat aplikasi semacam greb dan g*jek. Tapi ritual mandi ini yang udah jarang. Kecuali untuk perempuan yang hendak menikah.

    ReplyDelete
  7. Jujur ini hal baru sih buat aku. Nikah aja aku nggak pakai ritual apa2 hihi. Tapi aku gagal fokus jd pingin makan bubur sum sum. Baru tahu itu dikaitkan dengan ritual pembuka penutup. Menarik ya tradisi Indonesia.

    ReplyDelete
  8. Saat pertama kali merantau ke Jakarta, ada satu perbedaan bahasa yang cukup menarik bagi saya hingga saat ini, yaitu bubur sumsum di atas. Kalau di daerah saya bubur sumsum itu namanya bubur putih (logis sih, karena warnanya putih). Sementara yang dinamakan bubur sumsum adalah bubur berbentuk mutiara berwarna merah.

    ReplyDelete
  9. Jawanya mana mas? Saya juga orang jawa, dan banyak ritual juga yang dilakukan masyarakat sini.

    Tapi kalau saya pribadi semua kembali kepada diri kita sendiri, hehe

    ReplyDelete
  10. kayaknya kalau dipikir-pikir, kesadaran mengakhiri ini emang sulit ya. iya gak sih? di aspek apa pun itu, cuma gak sadar aja kita.

    ReplyDelete
  11. Waduh mandi kembang itu memang sesuatu ya kalau bicara ritual saya sih kembali ke dalil agama dan kesehatan saja mas

    ReplyDelete

Post a Comment

Baca Juga