Skip to main content

Featured Post

Profil Rahma Huda Putranto

Rahma Huda Putranto, S.Pd., M.Pd.  adalah Duta Baca Kabupaten Magelang yang   lahir di Magelang, pada tahun 1992, lulus dengan predikat cumlaude dari Jurusan S-1 Pendidikan Guru Sekolah Dasar Universitas Negeri Semarang tahun 2014. Pernah menempuh Program Magister Manajemen Pendidikan di Universitas Ahmad Dahlan Yogyakarta. Selain itu, gelar magister bidang pendidikannya juga diperoleh melalui Program Magister Manajemen Pendidikan di Universitas Negeri Yogyakarta. Penulis pernah bekerja sebagai guru di SD Muhammadiyah Borobudur. Kemudian mendapat penempatan di SDN Giripurno 2 Kecamatan Borobudur sebagai Pegawai Negeri Sipil. Terhitung mulai tanggal 1 Maret 2018 mendapat tugas baru di SD Negeri Borobudur 1. Alamat tempat tinggal penulis berada di dusun Jayan RT 02 RW 01, Desa Borobudur, Kecamatan Borobudur, Kabupaten Magelang, Provinsi Jawa Tengah. Selain itu, penulis dapat dihubungi melalui email r_huda_p@yahoo.co.id. Penulis pernah mengikuti program Latihan Mengaj...

Kekuasaan dalam Etika Jawa

Selamat datang, November! Kehadiranmu kembali memberikan kesempatan padaku. Bulan ini saya merasa beruntung. Saya mendapatkan buku karya Franz Magnis Suseno, Etika Jawa. Buku yang memberikan pencerahan padaku. Terutama tentang apa itu Jawa dan memaknai apa yang ada di sekitar saya.

Lucu memang. Saya sebagai orang yang lahir dari rahim keluarga Jawa belajar Jawa dari "orang Jerman". Unik juga bagi saya, saya yang besar di tengah kultur Jawa malah mengetahui Jawa dari orang luar yang jatuh cinta pada Jawa.

Ada bagian yang membahas tentang kekuasaan. Romo Magnis menjabarkan kekuasaan dari perspektif raja-raja Jawa. Penguasa keraton, dalam hal ini Raja Jawa, memandang kekuasaan layaknya tampungan air. Ia berperan sebagai penampung air dan mengalirkannya kepada orang-orang yang berada di bawah kekuasaannya.

Aliran air dari raja inilah yang "menghidupi" orang-orang di bawahnya. Para bawahan, petani, pegawai kerajaan, semuanya mendapatkan asupan kehidupan dari "air" ini. Walaupun penjabaran "air" ini sangatlah luas. Jadi, pemahaman air disini tidak hanya sebatas pemahaman denotatif saja.

Lantas, pada bagian akhir pembahasan tentang kekuasaan, Romo Magnis juga memberikan gambaran tentang runtuhnya suatu kekuasaan. Keruntuhan kekuasaan di tanah Jawa lebih disebabkan pada faktor internal dari penguasa itu sendiri.

Walau terlihat secara lahiriah, sejarah banyak mencatat kalau kekuasaan raja-raja Jawa runtuh karena adanya pemberontakan. Ada juga yang disebabkan karena adanya perebutan takhta. Bahkan ada pula yang merupakan dampak dari politik adu domba penjajah.

Konsep kekuasaan dalam perspektif orang Jawa tidak mengenal faktor eksternal yang menjadi penyebab keruntuhan suatu kekuasaan. Alam berpikir orang Jawa memandang kegagalan suatu pengelolaan kekuasaan lebih kepada faktor internal. Kegagalan lebih berasal dari dalam diri raja tersebut.

Raja Jawa yang kehilangan kekuasaan biasanya tidak mampu mengontrol diri. Ia kehilangan fungsi dalam menampung dan mengalirkan air kepada bawahannya. Kebocoran "wadah air" ini disebabkan oleh hawa nafsu dan pamrih.

Hawa nafsu ini yang menyebabkan seorang raja berupaya untuk mengalokasikan air ini untuk kepentingan dirinya sendiri. Begitu juga ketika ia mengalirkan air ini kepada orang lain, ia merasa orang lain tersebut harus memberikan bayaran yang setimpal kepada dirinya.

Maka kalau dilihat dari perspektif masa lalu, raja-raja di masa lalu, gagal mengelola kekuasaan karena mematok pajak yang terlampau tinggi. Merampas hak milik rakyat jelata. Sampai kepada bentuk pemaksaan di luar kewajaran. Bahkan tak jarang hak-hak yang seharusnya diberikan kepada rakyatnya malah digunakan untuk foya-foya melampiaskan kepentingan pribadi raja tersebut.

Maka bagaimana cara raja-raja Jawa melanggengkan kekuasaannya? Pada praktiknya, raja-raja Jawa selalu berlatih dalam olah batin. Mereka memusatkan perhatiannya pada apa yang keluar dari dirinya. Ia akan menahan sekuat tenaga untuk tidak mengeluarkan "air" secara sia-sia.

Raja Jawa yang sukses tidak mudah menampilkan rasa marah. Tidak mudah gelisah. Bersikap tenang walau terjepit di keadaan yang sangat genting. Sebab, ia tahu, berbagai ujian yang ada di hadapannya sejatinya membutuhkan respon yang tepat. Sang Raja sadar, respon yang keliru bisa menghancurkan "wadah air" yang ada dalam dirinya.

Maka, raja-raja Jawa sering melakukan "laku" atau tindakan khusus untuk mengelola batinnya. Mereka akan lekat dengan praktik puasa, tirakat bahkan bertapa. Ini merupakan tindakan yang dilakukan oleh penguasa masa lalu guna menahan dirinya dari hawa nafsu. Nafsu merusak yang berasal dari dalam diri inilah yang kemudian diwaspadai oleh para raja.

Cerita ini memberikan gambaran kepada kita. Bahwa setiap kegagalan itu asalnya dari dalam diri kita. Kegagalan biasanya berasal dari ketidakmampuan diri dalam merespon apa yang terjadi. Biasanya kita memberikan respon yang salah pada suatu kejadian. Latih diri untuk mengasah batin, fokuskan pada hal-hal penting. Jauhkan diri dari hawa nafsu yang menganggu. Cobalah.

Comments

Baca Juga