Featured Post
- Get link
- X
- Other Apps
Guru Memasuki Era Meritokrasi
Bulan November tahun lalu ketika kegiatan seminar nasional guru dikdas berprestasi di Jakarta, saya bertemu dengan sahabat lama yang pernah sama-sama aktif di Ikatan Mahasiswa PGSD Indonesia. Namanya Adit, laki-laki asal Wonogiri yang dulu kuliah di PGSD Universitas Negeri Jakarta (UNJ). Setelah lulus kuliah, ia tetap bertahan di ibukota.
Pada pertemuan kali ini, saya mendapat pelajaran yang sangat berharga. Dunia kerja guru SD di ibukota sangatlah berbeda dengan di daerah. Sekedar menjadi guru wiyata bakti di SD negeri tidaklah mudah. Harus melalui proses lamaran di tingkat sekolah dan diputuskan langsung oleh kepala sekolah. Setelah lamaran lolos dan dinyatakan diterima, akan disodori surat kontrak kerja. Surat kontrak kerja ini akan diperbaharui setiap satu tahun sekali.
Mau tidak mau, guru wiyata bakti di Jakarta harus memiliki "keterampilan lebih" agar kontraknya dapat diperpanjang. Keterampilan lebih biasanya berupa skill di bidang seni maupun kekarya ilmiahan. Keterampilan yang tidak hanya mengajar atau mengelola siswa di dalam kelas. Secara tidak langsung, tuntutan guru wiyata bakti ini seolah melebihi tuntutan guru yang berstatus PNS.
Keadaan seperti ini tercipta karena lulusan perguruan tinggi melimpah ruah sedangkan jumlah sekolah yang ada sangatlah terbatas. Sehingga persaingan menjadi guru wiyata bakti sangatlah ketat. Suka tidak suka, lulusan PGSD yang ingin bertahan di Jakarta sebagai guru SD harus terus belajar meningkatkan kemampuan agar memiliki nilai lebih untuk dipertahankan. Luar biasa, kalau dulu siapa saja bisa jadi guru asal mau. Namun sekarang tidak bisa jadi guru kalau modalnya hanya asal mau.
Merambah ke Daerah
Pola-pola rekruitmen guru wiyata bakti seperti di Jakarta sudah mulai terasa merambah ke daerah. Apalagi sejak tahun 2010 lalu setiap perguruan tinggi hampir di semua daerah seolah berlomba-lomba membuka jurusan PGSD. Dan jumlah mahasiswa barunya tidak tanggung-tanggung. Setiap kali penerimaan mahasiswa baru, kuotanya dapat mencapai 200-400 kursi. Bayangkan, berapa lulusan PGSD yang mencari kerja setiap tahunnya.
Jumlah pencari kerja yang tidak sebanding dengan jumlah sekolah ini membuat kepala sekolah berada di atas angin. Kepala sekolah tidak ada rasa segan lagi untuk mengakhiri guru yang menurutnya "tidak produktif". Bahkan bisa saja menolak guru pindahan dari sekolah lain padahal membawa surat tugas resmi dari instansi terkait.
Banyak modus yang dipakai kepala sekolah untuk menolak guru pindahan. Misalnya, alokasi dana BOS untuk tenaga pendidik dan kependidikan sudah melebihi 15%. Ada juga yang menolak dengan alasan kalau gurunya sudah cukup. Padahal cara mencukupinya dengan mengubah tugas guru mapel menjadi guru kelas.
Permisalan di atas tidak mampu menggambarkan apa yang sebenarnya terjadi. Karena bisa saja kepala sekolah menolak karena menilai guru pindahan tersebut tidak memiliki kelebihan. Bahkan mungkin saja ditolak karena sejak awal memang tidak suka dengan guru pindahan tersebut.
Hak Menolak
Kepala sekolah memang meiliki hak penuh untuk menolak guru pindahan maupun guru yang melamar di sekolahnya. Namun perlu diingat apabila kepala sekolah tersebut bekerja di tempat yang jauh dari jangkauan simber daya manusia yang berkualitas. Perlu juga melakukan analisis sosial wilayah setempat, kira-kira ada tidak calon guru di wilayah sekitar sekolah.
Hal di atas penting diperhitungkan. Memang saat ini jumlah guru di sekolah tersebut terpenuhi. Namun ketika tiba-tiba jumlah guru berkurang, apakah ada yang bisa menggantikan? Karena suatu ketika ada guru yang dipindah, diangkat menjadi kepala sekolah ataupun cuti karena hamil. Hal ini bertambah sulit, kalau kemungkinan ketidakcukupan guru tersebut benar-benar terjadi. Sudah menolak lamaran atau guru pindahan, eh ternyata tidak ada calon guru di daerah sekitar. Ingat, tak sembarang orang mau bekerja menjadi guru di tempat yang jauh. Apalagi dengan gaji yang pas-pas-an.
Era Meritokrasi
Uraian cerita di atas memberikan hikmah kepada kita semua. Terutama kepada orang-orang yang berprofesi menjadi guru. Ternyata kita sudah sampai di era meritrokrasi, era di mana roda birokrasi dijalankan atas dasar kemampuan/ kompetensi. Strategi yang paling tepat untuk bertahan di era ini adalah dengan cara selalu belajar dalam rangka mengembangkan kompetensi. Kompetensi dikembangkan agar menjadikan diri kita memiliki nilai jual yanh lebih daripada yang lain. Kompetensi inilah yang akan membuat kita dipertahankan, dibutuhkan dan tidak dibuang atau ditolak di tempat kerja. Jadi, sebagai guru tidak hanya mengajar di dalam kelas namun juga mengembangkan skill di bidang lain yang menunjang profesi keguruan.
Tulisan ini ditulis sebagai hasil kontemplasi diri agar menjadi pelajaran yang berarti.
BKIA Borobudur, 21 Februari 2018
- Get link
- X
- Other Apps
Comments
Post a Comment