Forum setelah
rapat seringkali lebih “nendang” daripada rapat itu sendiri. Tulisan ini lahir
setelah diskusi singkat paska rapat dengan dua orang senior saya. Tulisan ini
juga melengkapi penjelasan yang telah dilontarkan. Kebetulan juga malam ini
saya melontarkan kembali isu tentang ideologisasi. Saya kira pas menyampaikan
tema pembahasan ini dengan kapasitas saya sebagai anggota majelis pendidikan
kader. Berbicara ideologisasi berarti berbicara tentang kaderisasi.
Kaderisasi yang
dimaknai sebagai sebuah proses untuk menciptakan kader.
Kaderisasi dalam
konteks organisasi Muhammadiyah merupakan program dan kegiatan yang tidak akan
pernah kunjung selesai (never ending job).
Kegiatan yang bersifat never ending job
ini dalam konteks kelokalan membuat saya merasa kesulitan. Kesulitan dalam
merumuskan titik awal dimana proses kaderisasi ini harus dimulai. Kesulitan ini
terutama disebabkan karena semakin kompleksnya masalah pengkaderan dan semakin minimnya kader yang
ada.
Keberanianlah
yang akhirnya memantabkan hati dan pikiran pada satu titik tumpu. Semoga titik
tumpu ini bukanlah tempat yang rapuh untuk dijadikan pijakan awal mengiringi
semangat kaderisasi. Titik tumpu ini dinamai Ideopolitor. Ideopolitor ini secara
aplikasi dan pengertian berbeda dengan ideopolitor yang dimaksud dalam buku Sistem
Perkaderan Muhammadiyah. Namun istilah ini digunakan karena sudah cukup populer
di kalangan warga persyarikatan. Dan istilah ideologi, politik dan organisasi
(idepolitor) telah mewakili semangat kaderisasi.
Ideopolitor ini diharapkan
menjadi titik tumpu pada usaha peneguhan ideologi Muhammadiyah, pewarisan nilai
dan revitalisasi kader. Secara sederhana dapat dijabarkan bahwa peneguhan
ideologi Muhammadiyah disarikan melalui pemilihan materi ideopolitor yang
bersumber pada kelompok materi ideologi Muhammadiyah, kelompok materi pengembangan
wawasan, kelompok materi sosial kemanusiaan dan kepeloporan. Pewarisan nilai
dapat bersumber pada kelompok materi muatan lokal. Dimana materi muatan lokal
ini difokuskan pada sejarah perjuangan Muhammadiyah di tingkat lokal. Sedangkan
revitalisasi kader dapat diambil dari kelompok materi kepemimpinan dan
keorganisasian.
Ideopolitor ini
memiliki sasaran pendengar dari kalangan pimpinan cabang, majelis, ortom dan
simpatisan. Namun, perlu disadari juga bahwa pembahasan yang sangat ideologis
mengakibatkan forum ideopolitor ini peminatnya tidak sebanyak kajian umum,
tabligh akbar ataupun SKBM. Namun tidak masalah. Ideopolitor diniatkan bukan
untuk meningkatkan kuantitas namun menguatkan kualitas kader. Jadi, harus
diingat kembali makna dari kader adalah anggota inti yang menjadi bagian
terpilih dalam lingkup dan lingkungan pimpinan serta mendampingi (tokoh-tokoh)
di sekitar kepemimpinan.
Kader inti tentu
lebih sedikit jumlahnya daripada kader pendukung. Sehingga tidak perlu risau
ataupun galau kalau yang ikut ideopolitor nanti jumlahnya hanya bisa dihitung
dengan jari. Tidak usah pula ada rasa gak enak dengan pembicara yang dihadirkan
di forum ideopolitor apabila jumlah yang menjadi pendengar ideopolitor sangat
minim.
Forum ideolpolitor
ini menurut hemat saya dibutuhkan sebagai sarana ideologisasi dan kaderisasi
persyarikatan. Selama ini forum yang khusus membahas ideologi Muhamammadiyah di
luar kegiatan pembelajaran Al-Islam Kemuhammadiyahan di sekolah juga belum ada.
Dan agar ideopolitor ini lebih masif pengaruhnya, maka hendaknya diselenggarakan
oleh Majelis Pendidikan Kader dengan pelaksana dari ortom ataupun AUM.
NB: Persyarikatan
Muhammadiyah yang dimaksud di atas adalah Muhammadiyah dalam konteks mikro. Artinya
Muhammadiyah dalam konteks kelokalan dimana penulis tinggal. Bukan pada konteks
makro nasional. Ideopolitor yang dimaksud merujuk pada pengkaderan fungsional
yang bersifat leboh fleksibel dengan prinsip penyelenggaraan yang bersifat
desentralistis-otonomis-sistemik.
Ditulis seketika sampai di rumah setelah rapat.
Borobudur pukul 00.59, 24 Juli 2018
Comments
Post a Comment