|
Salah satu media yang saya gunakan. |
Ada perasaan tidak puas setelah melakukan refleksi terhadap praktek peer teaching yang telah dilakukan. Refleksi membukakan mata bahwa pembelajaran yang dilakukan mengandung banyak kekurangan. Kekecewaan ini semakin menjadi karena sebelumnya saya terlalu percaya diri dan merasa pembelajaran yang dilaksanakan sangat baik.
Pada peer teaching yang kedua ini, saya menggunakan media pembelajaran dengan memanfaatkan beberapa software atau perangkat lunak. Software pertama yang saya gunakan adalah Power Point. Media kedua berupa memanfaatkan mix reality tiga dimensi. Media ketiga menggunakan plickers. Ketiga media ini digunakan bersama pada satu pembelajaran.
Pertimbangan menggunakan banyak media berbasis teknologi informasi adalah sebagai bentuk literasi digital. Kegiatan literasi digital meningkatkan interaksi antara siswa terhadap perangkat teknologi. Power point sebagai petunjuk pelaksanaan langkah-langkah pembelajaran yang dilakukan guru. Mixed reality untuk menggabungkan objek digital tiga dimensi dengan keadaan sekitar. Sedangkan plikers saya gunakan untuk menguji pengetahuan siswa ketika pre-test dan post-test.
Ternyata pemanfaatan media pembelajaran yang terlalu banyak hasilnya malah tidak maksimal. Terbukti media yang terlalu banyak malah mengurangi perhatian didik. Saking banyaknya teknologi yang digunakan, teman-teman peserta PPG dalam jabatan yang menjadi siswa terlihat jenuh. Hal ini tampak ketika beberapa kali rekan peserta PPG terlihat berbicara dengan temannya yang lain.
Refleksi diri menimbulkan kesadaran bahwa pembelajaran yang dilakukan mengandung beberapa kesalahan. Pertama, terlalu banyak menggunakan media berbasis komputer. Padahal perangkat komputer yang saya miliki tidak memiliki spesifikasi yang memadai. Hal ini menimbulkan terjadinya loading atau jeda waktu yang cukup lama ketika berpindah antara satu software ke software yang lain. Misalnya ketika berganti dari PowerPoint ke mix reality ada jeda loading yang cukup lama. Karena prosesor komputer harus bekerja lebih ekstra untuk mengaktifkan kamera. Loading yang lama membuat peserta didik (baca: peserta PPG) menjadi kelamaan menunggu. Peserta didik terlihat tidak menikmati kemudian tidak bersemangat.
Kedua, saya tidak mengaktifkan perhatian peserta didik melalui kegiatan
ice breaking.
Ice breaking diartikan sebagai kegiatan pemecah kebekuan. Kegiatan es breaking menjadi penting karena dapat mengkondisikan dan memfokuskan siswa. Ice breaking membuat siswa lebih memperhatikan apa yang disampaikan oleh guru.
Ice breaking sebenarnya ada banyak macamnya. Ice breaking bisa menggunakan berbagai macam media. Media ice breaking bisa berupa permainan, video, foto, dsb. Kegiatan berupa video misalnya siswa ditampilkan video senam jari. Sembari mengikuti irama dan gerakan yang ada dalam video, siswa dapat ikut serta memeragakannya. Kegiatan ice breaking pun bisa berupa tepuk tangan yang divariasikan. Semuanya bisa digunakan untuk ice breaking. Ice breaking hendaknya dipilih sesuai dengan materi dan kesukaan siswa. Ice breaking juga tidak boleh sampai mengganggu jalannya proses pembelajaran.
Ketiga, Lembar Kerja Peserta Didik (LKPD) pada kegiatan peer teaching harus dibuat sebaik-baiknya. LKPD harus digandakan sesuai dengan jumlah peserta didik. Pada kegiatan peer teaching ini saya tidak menggandakan LKPD untuk peserta peer teaching. Saya berpikiran bahwa LKPD untuk rekan-rekan peserta PPG dalam jabatan tidak akan berguna. Ternyata anggapan ini keliru. LKPD tetap dibutuhkan oleh rekan-rekan peserta PPG dalam jabatan yang menjadi seorang siswa terutama ketika mempraktekkan langkah pembelajaran berupa presentasi karya/ produk LKPD. Banyak teman peserta PPG yang kebingunan ketika saya minta maju ke depan untuk menyajikan karya hasil pengerjaan LKPD. Hal ini disebabkan teman-teman tidak mengetahui bentuk LKPD yang dimaksud.
Kesalahan keempat adalah rendahya keterampilan diri dalam mengatur intonasi suara. Seharusnya intonasi suara yang saya gunakan bisa diatur agar siswa lebih memperhatikan apa yang disampaikan guru. Kalau intonasi suara hanya datar tanpa ekspresi tentu tidak menarik. Akhirnya siswa bosan. Konsep pengaturan intonasi kuncinya pada pelibatan emosi ketika menyampaikan sebuah materi.
Kesalahan yang terakhir adalah saya sudah terjebak pada kejengkelan ketika melihat peserta didik atau para pendamping berbicara sendiri. etelah dipikir-pikir, penyebab mereka berbicara sendiri diduga bersumber pada dua kemungkinan. Bagi pendamping peer teaching, ada kemungkinan bahwa Bapak Ibu pendamping ingin mengetes peserta PPG tentang bagaimana cara meningkatkan perhatian siswa. Peningkatan perhatian ini bila berhasil tentu menjadi bukti bahwa sudah menerapkan strategi pembelajaran yang baik. Kemungkinan kedua berbicara sendiri karena jenuh terlalu banyak media yang digunakan seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya.
Pada akhirnya, saya menyarankan kepada para pembaca bila melakukan peer teaching ada beberapa hal yang harus diperhatikan. Pertama kali yang dilakukan adalah membuat PowerPoint yang runtut dan sistematis sesuai materi ajar. Kedua tidak terlalu banyak menggunakan media pembelajaran. Penggunaan yang terlalu banyak malah membuat pembelajaran menjadi tidak efektif dan efisien. Ketiga, mempersiapkan ice breaking sesuai dengan keadaan peserta didik. Yang keempat, membuat perangkat pembelajaran yang bisa dibagikan ke semua peserta peer teaching yang berperan sebagai siswa. Terakhir adalah membuat kesepakatan dengan peserta PPG yang berperan sebagai siswa agar memperhatikan guru yang sedang peer teaching.
Comments
Post a Comment