Raden Mas Empi Kusumodiharjo nampak murung. Ia tidak "plengah-plengeh" seperti biasanya. Awalnya saya cuek saja melihat kejadian itu.
Lama-kelamaan nggak tega juga. Apalagi irama suapan makannya berubah. Seolah ada beban berat dari setiap sendok nasi. Padahal ketika makan jangan memikirkan ungkapan "tidak ada makan siang gratis."
"Ana apa, mas?" tanyaku penasaran.
Responnya terlambat dua menit seperti HP yang memorinya penuh.
"Ini lho, ndan. Aku ki baru aja nonton video yang isinya nyuruh ganti nama."
Dia tambah sedih waktu ingat nama pemberian orang tuanya gak "mambu-mambu" Timur Tengah. Yang ada "tengah"nya hilang jadi bener-bener ketimuran.
"Piye perasaanmu, dab?" tanyanya lagi dengan nada Jogja yang medhog.
"Terus apa yang namanya mambu-mambu kebudayaan nggak masuk surga?" Kini saya malah yang gantian nanya.
"Bro, aku gak mikir kui. Cuma kasihan aja berapa juta orang nanti yang ke pengadilan nuntut ganti nama. Mending nuntut ke pengadilan, coba kalau malah nuntut si pemberi nama. Orang tua bisa kena pasal-pasal gegara 'perbuatan tidak menyenangkan' yang nama pemberiannya tidak pas seperti yang dibicarakan orang yang videonya lagi viral itu."
Perkataannya semakin mendayu-dayu. Bahkan sampai ke obrolan yang menyayat hati pendengarnya.
"Orang tuaku memberiku nama Raden Mas Empi Kusumodiharjo dengan harapan aku bisa menjadi orang yang berguna bagi lingkungan sekitarnya."
Tak terasa air matanya merambat turun ke pipi.
"Wis to, mas. Gak usah sedih ngono," kataku menyela tangisnya.
Saya memberikan saran kalau nama itu bukan penentu baik-buruknya seseorang. Ada nama yang baik tapi perbuatannya gak baik. Ada juga yang namanya buruk dan sangat sederhana malah tindakannya berguna dan bermanfaat bagi banyak orang.
Ku ketuk pundak Mas Empi.
"Kadang, apalah arti sebuah nama itu ada benernya, mas. Nama yang disimbolkan dengan "teks" itu tak selalu menyimbolkan konteks."
Coba, kalau ada yang memanggilmu "embek" apa lantas kemudian kamu berubah jadi kambing dan bukan manusia lagi?
"Gak usah sedih apalagi menyesal mas. Walau namamu gak mencerminkan kebudayaan tertentu, itu gak menentukan sikap moralmu."
"Oh iya, ya, jare cerita nabi-nabi mbiyen, tidak setiap sahabat lantas ganti nama setelah berikrar masuk ke agama yang diikuti nabi itu," jawab Mas Empi sambil manggut-manggut.
Untung Raden Mas Empi sadar dan gak galau lagi. Kalau galaunya kelewatan, bisa juga nama setiap jalan yang mambu-mambu budaya itu diubah semuanya. Bisa juga nekat mindah ibukota karena nama ibukotanya gak sesuai.
Eh, malah melebar ke ibukota. Kalau obrolan ini diteruskan bisa jadi salah juga itu istilah ibu pertiwi.
Comments
Post a Comment