Takut adalah bayangan yang muncul ketika telepon tiba-tiba berdering. Takut yang pertama kepada si penelpon. Namun lebih takut lagi pada siapa yang ada di rumah. Pada kondisi stagnan ini saya harus berpikir dengan tenang. Mengatur logika agar tidak salah langkah.
Sebenarnya saya tidak terlalu takut kepada si penelpon. Karena hidupnya jauh dariku. Bila menolak teleponnya, saya cukup menghilang sejenak lalu muncul lagi. Namun harus siap untuk tidak "dipakai" lagi.
Jadi, saya sikapi ketakutan pada penelpon sebagai sebuah peluang. Bagaimana tidak, penelpon memiliki posisi strategis di level Kabupaten dan kini sedang mulai menunjukkan taringnya di level provinsi. Kiprahnya di provinsi minimal terhitung lima tahun dari sekarang. Inilah yang menghadirkan peluang.
Oh ya, sebenarnya, saya ditelepon saja merupakan pertanda yang baik. Ditelepon menandakan saya diingat oleh si penelpon. Di balik layar, si penelpon dikenal sebagai orang yang susah mengingat nama orang.
Lantas apa yang diminta penelpon kepadaku? Si penelpon memintaku menggantikannya pergi ke Jakarta. Dia sangat berharap aku bisa ikut karena bus rombongan terlampau longgar karena kurang penumpang.
Ia memintaku untuk menemui seorang pembesar di kecamatanku. Si penelpon berpesan kepadaku kalau bertemu dengan pembesar ini minta si pembesar untuk menelpon orang yang menelponku ini.
Saya jawab "ya" untuk tawaran ke jakarta ini. Baru kemudian menemui pembesar kecamatan. Walau saya sadar kalau akan menanggung resiko yang besar. Resiko yang pertama tidak mendapat uang saku seperti penumpang yang lain. Resiko yang kedua, saya dianggap "klayu bapak" oleh beberapa pihak. Resiko ketiga, si pembesar kecamatan akan merasa "terlangkahi" kalau saya ikut ke Jakarta.
Resiko itu memang patut diperhitungkan. Namun bila aku tidak berangkat ke Jakarta hanya karena resiko ini, akan ada resiko yang lebih besar yang akan ku tanggung. Resiko bila menolak ke Jakarta, diantaranya, aku dianggap tidak loyal. Bila terbukti tidak loyal, peluangku masuk kepengurusan organisasi level kabupaten semakin kecil. Padahal April tahun depan akan ada pemilihan pengurus. Artinya empat bulan ke depan tidak boleh ada kesalahan terhadap organisasi.
Resiko besar yang lain bila saya menolak adalah pamor saya di salah satu bidang di dinas semakin meredup. Padahal kemarin saya secara tidak sengaja melakukan kesalahan yang membuatku dicitrakan buruk. Sampai sekarang saya masih selamat ya karena si penelpon ini adalah "yang pegang" bidang ini.
Dari resiko-resiko di atas, ada juga peluang yang muncul. Peluang yang bisa meningkatkan pengaruh diri. Peluang yang bisa memunculkan harapan akan masa depan yang lebih baik. Lebih jelasnya seperti ini.
Peluang pertama, semakin menguatkan diri menjadi "the young gun". "The young gun" adalah istilah yang menggambar dimana seorang pemuda menjadi andalan. Layaknya senjata muda yang siap digunakan. Sekali digunakan mematikan. Artinya bila menggunakan the young gun pasti berhasil.
The Young Gun adalah fase lanjutan dari "the rising star". The rising star dideskripsikan sebagai seseorang yang mulai berkilau layaknya bintang. Tapi kilauan sinarnya belum bisa dimanfaatkan karena terlampau tinggi. Maka The rising star perlu berevolusi pada suatu gerakan yang lebih membumi dan bermanfaat.
Peluang kedua, memperluas jaringan. Walau belum begitu akrab, namun setiap orang di bus ini sudah mengetahui saya. Saya pun sudah mengetahui mereka. The Young Gun semakin dipercaya. Mereka melihatku sebagai seprang tangan kanan dari si penelpon. Karena beberapa waktu yang lalu saya dipercaya menjadi driver si penelpon dalam hajatan bergengsi dan bertensi tinggi.
Peluang ketiga, menambah pengaruh. Pengaruh diperoleh melalui keterlibatan seorang anak muda. Ada lho "anak muda" yang ikut kegiatan seperti ini. Karena satu-satunya anak muda yang ikut memang bisa dihitung jari.
Peluang keempat, analisis peluang April 2020. Persiapan perhelatan 2020 terlihat juga di kegiatan ini. Terbaca juga status quo mengarahkan anak cabangnya kepada siapa. Ada juga pihak yang bergerak dengan senyap agar dirinya sukses di 2020.
Selanjutnya, inilah resiko dan peluang pada keikutsertaan kegiatan ini. Jadi ingat nasihat dari Tung Desen Waringin, "ikuti tur mahal bukan untuk gaya-gayaan tapi untuk belajar". Disini saya memang belajar bagaimana cara berpolitik secara 'smooth". Bagaimana dahsyatnya investasi politik, peta pengaruh dan jaringan. Tidak rugi bila resiko bisa teratasi dan peluang termanfaatkan dengan baik.
Comments
Post a Comment