Keributan terjadi di depan rumah. Bapak dan ibu saya saling berdebat tentang penataan sepetak tanah di pojok rumah. Keributan itu disaksikan oleh para tukang yang saat itu telah siap bekerja. Aku tidak mau terlibat pada keributan ini. Oleh karenanya saya hanya mendengarnya dari dalam rumah.
Dari dalam rumah, jelas terdengar bahwa ibu saya setuju kalau tempat itu "ditata" kalau sudah ada gambaran yang jelas. Namun bapak ku enggan menjelaskan rencananya. Jadi ibu saya mengartikan sikap bapak sebagai sebuah tanda bahwa bapak tidak memiliki rencana yang jelas terkait penataan ini.
Saya melalui tulisan ini tidak akan menceritakan lebih lanjut keributan kecil yang berakhir indah ini. Hanya ternyata ada hikmah yang bisa kita petik dari cerita saya di atas. Bahwa segala sesuatu harus diciptakan dua kali.
Penciptaan pertama adalah penciptaan yang dilakukan di dalam pikiran. Sedang penciptaan kedua dilakukan di alam nyata. Penciptaan di alam pikiran membuahkan perencanaan. Penciptaan di alam nyata membuahkan tujuan yang terpenuhi.
Contohnya ketika seseorang membangun rumah. Ia harus melalukan proses penciptaan itu dua kali. Penciptaan pertama dalam bentuk cetak biru/ gambar rumah yang akan dibangun. Penampakan bangunan rumah yang akan dibangun harus tergambar sejelas-jelasnya di atas kertas.
Kalau si pembuat rumah tidak memiliki bayangan rumah seperti apa yang akan dia bangun, tentu hasil bangunannya akan jauh dari esensi keindahan dan kenyamanan. Selain itu, dalam proses pembuatannya, para tukang bangunan pasti akan kebingungan ketika akan bertindak. Selain itu akan terjadi kerugian waktu dan materi bila ingin merenovasi bangunan yang terlanjur sudah jadi.
Saran Untuk Penciptaan Pertama
Kesuksesan diri ternyata juga membutuhkan penciptaan pertama dalam bentuk perencanaan. Ketika membuat perencanaan, ada satu prinsip yang tidak bisa ditinggalkan. Yaitu gambaran akhir atas apa yang akan kita lakukan. Stephen R. Covey dalam bukunya The 7 Habits of Highly Effective People menyebut metode ini dengan kebiasaan "mulai dengan akhir dalam pikiran."
Tung Desem Waringin, salah satu motivator kebanggaan Indonesia juga menyebut bahwa bila ingin berhasil, maka harus dilandaskan pada "result oriented." Maksudnya hasil seperti apa akan sangat menentukan tingkat keberhasilan seseorang. Semakin jelas dan detail mendeskripsikan hasil, maka semakin dekat dengan keberhasilan dan kesuksesan.
Memang, kita tidak bisa melulu bisa membuat perencanaan yang detail tentang diri kita. Apalagi di zaman yang cepat berubah seperti ini. Saran saya adalah milikilah prinsip dasar ketika belum bisa merencakan dengan jelas tujuan akhir.
Ketidakmampuan membuat perencanaan sering terjadi ketika kita harus "terlibat" pada rencana/ project orang lain. Sederhananya seperti ini, ketika diajak makan siang bersama rekan kerja kita. Kita sering tidak tahu akan diajak makan dimana, otomatis perencanaan tidak bisa dilakukan. Lantas yang perlu kita siapkan adalah prinsip dasar kita. Jadi ketika sampai di tempat makan yang menyediakan makanan yang tidak sesuai dengan prinsip pribadi kita, maka kita bisa menolaknya.
Sekali lagi, gambaran akhir-lah yang menentukan kita akan bertindak saat ini. Lantas bagaimana bila kita tidak memiliki perencaan atau gambaran akhir dalam pikiran kita? Kita akan menjadi korban dari perencanaan orang lain, itu jawabnya.
Comments
Post a Comment