"Kita butuh tempat nongkrong." Sepertinya ini makna yang bisa saya serap ketika salah seorang kader senior memberikan masukan di Rapat Kerja Pimpinan Daerah Pemuda Muhammadiyah Kabupaten Magelang.
Beliau dalam rakerda yang terselenggara di SD Muhammadiyah Payaman (28/12) menjelaskan bahwa tempat nongkrong bermanfaat sebagai tempat pertukaran informasi bagi para kader. Karena seringkali informasi bahkan keputusan bisa diperoleh dari forum non-formal di tempat kongkow atau ngopi. Bahkan, harapannya tempat nongkrong ini bisa digunakan untuk menginap.
Penjelasannya berlanjut ketika menceritakan persiapan Musyawarah Daerah Pemuda Muhammadiyah beberapa bulan yang lalu. Beberapa hal penting terkait musyda diobrolkan di tempat nongkrong. Tempat nongkrong kala itu yang tepatnya berada di sebuah tempat yang ada di gedung PDM Kabupaten Magelang. Jadi, tempat nongkrong itu benar-benar dibutuhkan.
Tongkrongan di Masa Lalu
Saya juga mengingat masa-masa yang lalu. Kala dimana tempat nongkrong menjadi bagian terpenting dalam jalannya roda organisasi. Kala itu saya bergiat di salah satu ortom Muhammadiyah di Kota Semarang. Tempat nongkrong kami berpindah-pindah. Awalnya sering di Masjid At-Taqwa Patemon, Gunung Pati yang sampai saat ini masih menjadi markas IMM Komisariat Hamka Unnes.
Tongkrongan pun berpindah ke gedung PDM Kota Semarang yang letaknya masih di depan RS Roemani, berada di seberang jalan PWM Jawa Tengah. Tempat nongkrong berpindah di PDM karena waktu itu senior saya telah lulus dari Unnes dan bekerja di bank yang berafiliasi pada persyarikatan.
Tempat tongkrongan berpindah ke sebuah rumah di samping RS Roemani. Kepindahan tempat nongkrong ini disebabkan gedung PDM yang lama dibangun menjadi gedung untuk melengkapi fasilitas RS Roemani. Sembari menunggu pembangunan gedung PDM yang baru, tongkrongan lebih gayeng di rumah salah seorang kader ortom ini.
Pernah suatu ketika, karena teman-teman organisasi sering begadang dan mengganggu penghuni sekretariat yang lain. Tempat nongkrong pindah di PWM. Ada akses ke PWM lagi-lagi karena senior kami menjadi pengurus di tingkat provinsi dan sering membutuhkan bantuan bila ada kegiatan keorganisasian.
Karena adanya tempat nongkrong inilah pemahaman saya tentang Persyarikatan terbentuk. Mulai dari sekedar mendengar orang yang ngobrol sampai terlibat diskusi panjang yang kalau dipikir sekarang kok kayaknya "un-faedah" banget.
Karena seringnya nongkrong, sering pula menginap di tempat-tempat itu. Saya dan teman-teman jadi tahu bagaimana roda persyarikatan ini berjalan. Kami bisa meneladani langsung bagaimana etos kader-kader persyarikatan.
Saya pun jadi ingat, kalau dulu ada seorang ketua organisasi setingkat Kota Semarang memakai "bantal" yang tidak biasa. Bantal itu "made in sendiri" yang dibuat dengan membuat simpul di kedua ujung sarung. Sarung tersebut sebelumnya telah diisi dengan pakaian-pakaian yang sudah dipakai. Bisa dibayangkan aromanya seperti apa. Inilah gaya hidup sederhana yang diajarkan di tengah tawaran "kerjasama" yang sifatnya materi dan non-materi antri berjajar rapi.
Simpulan tulisan yang jadinya kemana-mana ini adalah tempat nongkrong bagi sebuah organisasi itu memang perlu ada. Bentuknya bisa bermacam-macam. Angkringan, ruang sekretariat atau apalah itu. Yang penting tempat nongkrong ini bisa menjadi sarana berkomunikasi non-formal dimana setiap anggota tidak terkekang pada suatu mekanisme formal layaknya rapat resmi.
Comments
Post a Comment