Featured Post
- Get link
- Other Apps
Mengawali dengan Buruk
Bayangan kesempurnaan terkadang menjadi beban. Saya berani mengatakan menjadi beban karena sudah banyak orang yang mengalaminya. Coba saja tanyakan kepada siswa/pelajar sekolah.
Mereka sangat takut ke sekolah karena ia ingin selalu mendapatkan nilai bagus. Nilai bagus ini menjadi beban bagi dirinya. Entah nilai bagus ini hasil dari tuntutan orang tua atau gurunya.
Beban kesempurnaan juga seringkali ditemui pada diri seorang guru. Guru memang diwajibkan membuat perencanaan pembelajaran. Namanya Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP). Guru yang terpaku pada kesempurnaan dalam membuat perencanaan, seringkali tidak beranjak kemanapun.
Guru tersebut kebingungan dalam memilih model, media, dan/atau teknik pembelajaran yang akan dipakai. Kebingungan ini makin lama makin membuatnya pusing. Hingga akhirnya lupa kalau mengajar adalah aktivitas alami. Layaknya komunikasi antara satu orang dengan orang lainnya.
Saya coba lengkapi beberapa contoh di atas dengan apa yang saya peroleh dari bukunya James Clear. James Clear mengatakan dalam bukunya Atomic Habits dimana pernah ada percobaan yang dilakukan oleh seorang dosen fotografi.
Dosen fotografi ini membagi kelasnya dalam dua kelompok besar. Kelas pertama diminta untuk mengumpulkan satu foto terbaik di akhir semester nanti. Sementara itu, kelas kedua diminta untuk mengumpulkan foto sebanyak-banyaknya tanpa harus memikirkan bagus atau tidaknya.
Dalam percobaan tersebut terlihat kalau sang dosen ingin melihat dampak dari orientasi akan kualitas dan kuantitas. Kelompok pertama yang dimintai satu foto terbaik digunakan untuk mencari foto yang berkualitas. Sedangkan kuantitas terlihat dari kelompok kedua yang diminta untuk membuat foto sebanyak-banyaknya. Coba tebak, kira-kira kelompok mana yang dapat menghasilkan foto yang baik?
Jawabannya, foto terbaik diperoleh dari kelompok kedua. Mahasiswa kelompok kedua mampu menghasilkan foto yang berkualitas di antara banyaknya foto yang mereka hasilkan. Kelompok pertama tidak menghasilkan foto yang berkualitas. Mengapa bisa begini?
Kelompok pertama ternyata terjebak pada bayang-bayang "foto yang berkualitas". Mereka terbayang pada kesempurnaan. Mereka hanya memikirkan. Belajar berbagai teori sampai lupa memotret. Intinya, mereka terpaku pada bayang-bayang menjadi "terbaik".
Sementara itu, kelompok kedua memotret sebanyak-banyaknya tanpa berpikir bagus atau tidak. Pokoknya foto-foto terus. Seiring banyaknya foto yang dihasilkan, semakin pandai mereka dalam memfoto. Mereka tidak terjebak pada bayang-bayang terbaik. Namun belajar menghasilkan foto terbaik dari praktik foto sebanyak-banyaknya.
Pada akhirnya, kita tahu, mengawali dengan buruk tidaklah buruk-buruk amat. Mengawali dengan perasaan tanpa beban lebih baik daripada tidak menghasilkan apa-apa. Yang penting kita memiliki niatan yang baik. Bila terjadi kesalahan, bisa diperbaiki. Trial and error terjadi disini. Yang penting, setiap tindakan dievaluasi, diperbarui lagi dan lagi.
- Get link
- Other Apps
Comments
Post a Comment