Featured Post
- Get link
- X
- Other Apps
Lebaran Bersarung
Saya sengaja memakai sarung di sepanjang hari pertama lebaran kali ini. Ingin menjawab pertanyaan besar, apa bedanya memakai sarung ketika bepergian dari satu rumah ke rumah lainnya? Meskipun ini hanya pertanyaan retoris. Yang mana saya memakai sarung lebih karena euforia paska membeli sarung baru.
Saya mendapatkan sarung dengan motif yang khas dan harga terjangkau. Harganya 70 ribu. Identik dengan pola parang khas batik Jawa. Kombinasi warnanya pun sangat old. Warnanya terdiri dari hitam, putih, dan merah kecoklatan.
Sarung ini dibeli di Toko Batik Asli Muntilan. Ini memang toko batik dan sarung legendaris di area Magelang. Kondang dengan harganya yang terjangkau. Ada selisih harga yang cukup tinggi dengan toko sebelah. Misalnya saja sarung merk Botol Terbang, selisih harganya bisa mencapai 50rb. Toko ini bisa menjual murah karena katanya memang distributor khusus sarung Botol Terbang.
Saya merasakan perbedaan ketika menggunakan sarung dengan celana pada segi nilai-nilai yang diyakini dan berdampak pada tingkah laku yang ditampilkan. Saya memandang bahwa sarung merupakan simbol tradisional Islam di Nusantara. Sarung menjadi ciri khas kaum santri.
Maka, tingkah laku ketika mengenakan sarung ini sangatlah diperhatikan. Saya cenderung duduk dengan cara yang lebih pelan daripada ketika memakai celana. Muncul kehati-hatian kalau saja lipatan sarung ini berubah ketika duduk.
Saya pun tidak bisa sembarangan “nglemprak”. Harus duduk di tempat yang benar-benar baik. Artinya, ketika memakai sarung perlu memastikan kita duduk di tempat yang bersih dan tiada najis.
Inilah perasaan saya ketika memakai sarung. Mungkin, budayawan Sujiwo Tedjo juga merasakan hal yang sama. Saya tahu, beliau merupakan salah satu pesohor yang tidak pernah lagi memakai celana. Ia selalu mengenakan sarung mulai dari jalan di Mall hingga on air di TV nasional.
Rahma Huda Putranto
Senin, 31 Maret 2025
- Get link
- X
- Other Apps
Comments
Post a Comment